Jambi (Antarasumsel.com) - Aktivitas produksi minyak kelapa sawit sudah dipastikan menghasilkan limbah dalam jumlah banyak yang bisa berdampak negatif bagi pencemaran lingkungan jika tidak dikelola atau dimanfaatkan dengan baik.
Namun bagi Nazarudin, Phd, selaku Ketua Pusat Studi Energi dan Nano-Material (PS-ENAM) Universitas Jambi, limbah sawit justru dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu yang mempunyai nilai tambah (value added).
Di sebuah Laboratorium PS-ENAM yang dikembangkannya itu, Nazarudin berhasil menyulap limbah kelapa sawit menjadi energi bahan bakar minyak (BBM) seperti bensin, solar, minyak tanah dan gas.
Laboratorium Teknik Kimia Universitas Jambi berukuran sekitar 5meter x 5meter yang berada di Pondok Meja, Muarojambi ini menjadi pilot project penelitian limbah sawit.
Nazarudin dan beberapa dosen serta mahasiswa Teknik Kimia Universitas Jambi mengembangkan studi energi baru terbarukan (EBT) melalui pemanfaatan limbah kelapa sawit.
Ia yang juga lulusan Doktor Teknik Kimia University College London (UCL) Inggris ini mengatakan melalui laboratorium yang semua peralatannya dirakit sendiri itu dapat mengubah limbah sawit menjadi bahan kimia (katalis), juga dapat bermanfaat digunakan untuk perengkahan katalitik menjadi bahan bakar.
"Semua peralatan di laboratorium ini kami merakit sendiri, kalau kita bisa buat sendiri kenapa harus dikirim dari luar, saya di sini juga dibantu oleh beberapa dosen lainnya dan mahasiswa mengembangkan penelitian limbah sawit diolah menjadi bahan bakar minyak," kata Nazarudin saat ditemui Antara, Senin (27/2).
Untuk menjadikan limbah kelapa sawit seperti cangkang sawit, serat sawit dari sisa hasil CPO menjadi bahan bakar terlebih dahulu dilakukan proses perengkahan reaksi kimia dari sejumlah alat reaktor yang telah tersedia, kemudian dari proses tersebut dapat menghasilkan produksi bahan bakar jenis gas, cair dan padat.
Hasil proses perengkahan limbah itu konversinya bisa menjadi berbagai jenis bahan bakar mulai dari bensin, solar dan minyak tanah itu sekitar 70 persen dan sementara 30 persennya bisa menjadi gas yang juga bisa dimanfaatkan jadi bahan bakar.
"Pada proses perengkahan ini juga dipantau melalui sistem komputer dan kurang lebih sampai satu jam untuk bisa menjadikan bahan bakar minyak, dan setelah dapat hasilnya kemudian diolah lagi secara khusus," katanya.
Hasil dari produksi perengkahan tersebut nantinya dipisahkan melalui alat berdasarkan tersusun hidrokarbon rantai lurus, di antaranya jumlah kandungan heptana C5 sampai dengan C10 adalah jenis Bensin atau mudah terbakar.
Kemudian rantai lurus hidrokarbon C12 hingga C15 adalah jenis Solar dan kandungan C15 hingga C20 adalah jenis minyak tanah serta kandungan C-30 keatas adalah bahan bakar jenis padat seperti parafin.
Perbedaan antara bensin, solar dan minyak tanah itu, kata dia, tergantung dari jumlah hidrokarbon. Semakin pendek rantai hidrokarbon maka kemampuan untuk menyala semakin pendek atau semakin cepat.
"Misalnya bensin itu kenapa mudah terbakar? karena rantai lurus hidrokarbon kecil sehingga bensin dengan sangat mudah dan cepat terbakar," kata Nazaruddin.
Bahan bakar mulai dari jenis gas, cair hingga padat sudah dapat diproduksi dalam skala laboratorium dan beberapa sampelnya juga sudah dikirim ke Laboratorium Universitas Gajah Mada (UGM) untuk dianalisa lagi guna menghasilkan suatu produk yang lebih baik.
Pria 44 tahun ini juga tercatat sebagai alumni pada program strata dua (S2) di UGM Yogyakarta. Ia menceritakan sebelum sampai pada proses riset dan penemuannya tersebut sempat beberapa kali gagal.
Tapi dengan kerja kerasnya itu dirinya tidak langsung menyerah dan terus berjuang sehingga mampu melewati semuanya dengan menciptakan energi dari bahan baku limbah kelapa sawit yang diyakini mempunyai banyak manfaat.
Berdasarkan peta jalan riset yang dimiliknya itu, tahun 1999 ia mulai pada aktivasi dan modifikasi zeolit alam sebagai katalis perengkahan CPO dan sisa penyulingan minyak bumi.
Kemudian riset itu terus berlanjut pada tahun 2016, yakni dengan topik khusus pilot project, evaluation research dan penelitian pengembangan untuk menghasilkan bahan kimia industrilisasi pembuatan bahan bakar minyak dari limbah kelapa sawit.
"Untuk bisa sampai seperti ini perjuangan saya hampir mau nyerah dan sempat gagal, banyak tantangan sampai pindah-pindah Laboratorium, namun dengan kegigihan dan dukungan kawan-kawan akhirnya bisa menemukan cara mengubah limbah sawit menjadi bahan bakar seperti ini," kata Nazaruddin sembari menunjukan alat-alat untuk perengkahan limbah sawit di laboratoriumnya itu.
Ramah lingkungan
Pengembangan bahan bakar minyak dari limbah kelapa sawit itu, riset dan pengembangannya tahap awal tersebut berasal dari dana hibah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp1,1 miliar.
Bahan bakar hasil olahan dari limbah kelapa sawit tersebut dinilai sangat potensial dan lebih ramah lingkungan karena tidak memiliki kandungan sulvur dan nitrogen sehingga tidak menghasilkan gas buang karbon monoksida (CO2) dan karbon dioksida (C02).
"Bahan bakar dari limbah kelapa sawit lebih ramah lingkungan karena limbah CPO tidak memiliki kandungan sulvur dan nitrogen atau berbeda dengan bahan bakar dari minyak bumi ada kandungan sulvur dan nitrogen," kata Nazarudin.
Selain ramah lingkungan, yang melatarbelakangi pengembangan bahan bakar yang berasal dari bahan baku limbah tersebut adalah sumber daya alam seperti minyak bumi dan gas alam sebagai sumber energi yang tidak bisa diperbaharui da suatu saat akan semakin menipis.
Hal tersebut tentunya akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan karena kebutuhan energi dalam jumlah besar sudah tidak terelakkan lagi.
Sebab itu dibutuhkan inovasi sektor energi guna mengembangkan energi-energi alternatif dan langkah-langkah konservasi energi yang keberlanjutan dan ramah dengan lingkungan, yang salah satunya dengan memanfaatkan limbah kelapa sawit.
Provinsi Jambi, kata Nazarudin, mempunyai banyak perkebunan kelapa sawit serta pabrik pengolahannya (CPO) yang sangat potensial sebagai bahan baku pengembangan energi baru terbarukan ini.
Ia pun menargetkan hingga tahun 2019 bahwa pengembangan bahan bakar minyak dari limbah kelapa sawit tersebut ke depan dapat dikomersilkan.
"Sebelum mencapai skala besar kita melalui pilot project dulu dan kita menstimulasikan kondisi sebenarnya untuk di pabrik sehingga nanti saat menginvestasikannya sudah oke. Mungkin dua tahun lagi bisa langsung ke industri dan bisa digunakan bagi kendaraan," kata dia.
Pihaknya berharap adanya dukungan yang penuh dari pemerintah daerah untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) karya anak bangsa yang lebih ramah lingkungan ini.
"Ini untuk tujuan bersama, bangsa kita perlu mandiri. Kita tidak boleh ketergantungan dan teknologi itu harus direbut dengan bekerja keras. Tentu harus ada dukungan sampai jadi hasil sesuai target untuk kemandirian energi," kata Nazarudin menambahkan.