Kemenperin dorong pengembangan industri hulu baja dalam negeri

id baja, industri baja, kemenperin, hilirisasi nikel,smelter,menperin,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara sumsel har

Kemenperin dorong pengembangan  industri hulu baja dalam negeri

Karywan beraktivitas di pabrik pembuatan baja Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/10/2019). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/foc.

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian mendorong pengembangan industri hulu baja dalam negeri karena memiliki dampak berantai (multiplier effect) yang besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Taufiek Bawazier dalam webinar, Rabu, mengatakan saat ini banyak pihak meributkan smelter nikel yang bernilai tambah, padahal smelter ferro ore yang menghasilkan baja masih sangat minim.

"Kita ribut dengan smelter nikel. Memang punya nilai tambah, tapi smelter untuk besi ore sendiri cuma satu, kecil sekali, paling tidak menurut hitungan kami ada 5-6 smelter baru di ferro ore yang bisa dibuat untuk billet, slab," katanya.

Produk-produk smelter besi itu, lanjut Taufiek, sangat penting bagi proyek-proyek pemerintah, termasuk alat transportasi. Sayangnya, produk-produk tersebut saat ini banyak disuplai dari luar negeri alias impor.

"Semuanya by data, itu impor. Saya enggak tahu di mana titik urainya," katanya.

Taufiek mengakui dari segi harga, Indonesia memang kalah bersaing dengan China untuk produk baja.

Hal itu wajar mengingat China menguasai 53 persen baja dunia yang totalnya mencapai 1.800 juta ton. Sementara Indonesia, baru mampu memproduksi 6,5 juta ton atau hanya 0,07 persen total baja dunia.

"Kita ada iron ore (bijih besi) banyak, kenapa tidak dibangun di situ? Nikel oke, tapi hilirnya nikel itu belum banyak tumbuh. Meski sekarang nikel sudah oke karena ada stainless steel yang bisa diekspor," katanya.

Taufiek mengatakan perlunya mendorong pengembangan industri hilir baja yang permintaannya tinggi, yakni mencapai 16 juta ton.

"Kalau di hulunya lemah, bagaimana kita mengejar competitiveness di hilir? Ini perlu dipikirkan bersama. Dari HS code masiih banyak impor, dari produk jadinya juga masih tinggi," ujarnya.

Taufiek menambahkan hendaknya tidak melihat harga pengembangan baja yang kemahalan jadi alasan untuk tidak segera mengembangkan hulu baja. Menurut dia, pengembangan hulu baja merupakan investasi masa depan pembangunan.

"Kami melihat ini alat investasi yang multiplier-nya besar untuk pembangunan ekonomi. Kalau mesin ekonominya rupiah, kita impor pakai dolar, lama-lama kita habis. Tapi kalau kita bangun dengan rupiah, kita menghasilkan dengan pembangkit ekonomi yang bernilai tinggi sehingga bisa jadi nilai tambah besar," katanya.