Jakob Oetama ajarkan pentingnya humanisme dalam hubungan antarmanusia
Jakarta (ANTARA) - Semasa hidup, pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama selalu menekankan pentingnya nilai-nilai humanisme dalam hubungan antarmanusia, kata mantan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Trias Kuncahyo.
"Jadi tidak persoalan dari mana asalnya, agamanya apa, tapi jadi satu Indonesia. Itu yang selalu ditekankan Pak Jakob, pada hubungan antarmanusia yang paling penting. Humanisme," kata Trias kepada ANTARA melalui sambungan telepon di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan keterangan pers Kompas Gramedia, Pendiri Kompas Gramedia sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama tutup usia pada Rabu (9/9).
Almarhum meninggal dunia dengan tenang di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading pada pukul 13.05 WIB dalam usia 88 tahun.
Jakob Oetama adalah jurnalis senior dan tokoh pers nasional. Ia lahir pada 27 September 1931 di Desa Jowahan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Saat belia, cita-citanya menjadi guru seperti ayahnya. Ia sempat mengajar di SMP Mardi Yuwana Cipanas, Sekolah Guru Bagian B (SGB) Lenteng Agung Jagakarsa, dan SMP Van Lith Jakarta. Minatnya menulis tumbuh berkat belajar Ilmu Sejarah.
Karier Jakob Oetama di dunia jurnalistik bermula dari pekerjaan barunya sebagai redaktur majalah Penabur Jakarta. Pada 1963, bersama rekan terbaiknya, almarhum Petrus Kanisius Ojong (P.K. Ojong), Jakob Oetama menerbitkan majalah Intisari yang menjadi cikal-bakal Kompas Gramedia.
Kepekaannya pada masalah manusia dan kemanusiaan kemudian menjadi spiritualitas Harian Kompas, yang terbit pertama kali pada 1965.
Hingga lebih dari setengah abad kemudian Kompas Gramedia berkembang menjadi bisnis multi-industri, Jakob Oetama tidak pernah melepas identitas dirinya sebagai seorang wartawan. Bagi dia “Wartawan adalah Profesi, tetapi Pengusaha karena Keberuntungan.”
Semasa hidup, Jakob Oetama dikenal sebagai sosok sederhana yang selalu mengutamakan kejujuran, integritas, rasa syukur, dan humanisme.
Di mata karyawan, ia dipandang sebagai pimpinan yang ‘nguwongke’ atau memanusiakan dan tidak pernah menonjolkan status atau kedudukannya.
Almarhum berpegang teguh pada nilai humanisme transendental yang ia tanamkan sebagai fondasi Kompas Gramedia. Idealisme dan falsafah hidupnya telah diterapkan dalam setiap usaha bisnis Kompas Gramedia yang mengarah pada satu tujuan utama, yaitu mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia.
Corporate Communication Director Kompas Gramedia Rusdi Amral mengatakan bahwa Jakob Oetama merupakan legenda, jurnalis sejati yang tidak hanya meninggalkan nama baik, tetapi juga kebanggaan yang selalu memberikan nilai-nilai kehidupan bagi Kompas Gramedia.
“Beliau sekaligus teladan dalam profesi wartawan yang turut mengukir sejarah jurnalistik Bangsa Indonesia. Walaupun kini beliau telah tiada, nilai dan idealismenya akan tetap hidup dan abadi selamanya,” katanya.
"Jadi tidak persoalan dari mana asalnya, agamanya apa, tapi jadi satu Indonesia. Itu yang selalu ditekankan Pak Jakob, pada hubungan antarmanusia yang paling penting. Humanisme," kata Trias kepada ANTARA melalui sambungan telepon di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan keterangan pers Kompas Gramedia, Pendiri Kompas Gramedia sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama tutup usia pada Rabu (9/9).
Almarhum meninggal dunia dengan tenang di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading pada pukul 13.05 WIB dalam usia 88 tahun.
Jakob Oetama adalah jurnalis senior dan tokoh pers nasional. Ia lahir pada 27 September 1931 di Desa Jowahan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Saat belia, cita-citanya menjadi guru seperti ayahnya. Ia sempat mengajar di SMP Mardi Yuwana Cipanas, Sekolah Guru Bagian B (SGB) Lenteng Agung Jagakarsa, dan SMP Van Lith Jakarta. Minatnya menulis tumbuh berkat belajar Ilmu Sejarah.
Karier Jakob Oetama di dunia jurnalistik bermula dari pekerjaan barunya sebagai redaktur majalah Penabur Jakarta. Pada 1963, bersama rekan terbaiknya, almarhum Petrus Kanisius Ojong (P.K. Ojong), Jakob Oetama menerbitkan majalah Intisari yang menjadi cikal-bakal Kompas Gramedia.
Kepekaannya pada masalah manusia dan kemanusiaan kemudian menjadi spiritualitas Harian Kompas, yang terbit pertama kali pada 1965.
Hingga lebih dari setengah abad kemudian Kompas Gramedia berkembang menjadi bisnis multi-industri, Jakob Oetama tidak pernah melepas identitas dirinya sebagai seorang wartawan. Bagi dia “Wartawan adalah Profesi, tetapi Pengusaha karena Keberuntungan.”
Semasa hidup, Jakob Oetama dikenal sebagai sosok sederhana yang selalu mengutamakan kejujuran, integritas, rasa syukur, dan humanisme.
Di mata karyawan, ia dipandang sebagai pimpinan yang ‘nguwongke’ atau memanusiakan dan tidak pernah menonjolkan status atau kedudukannya.
Almarhum berpegang teguh pada nilai humanisme transendental yang ia tanamkan sebagai fondasi Kompas Gramedia. Idealisme dan falsafah hidupnya telah diterapkan dalam setiap usaha bisnis Kompas Gramedia yang mengarah pada satu tujuan utama, yaitu mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia.
Corporate Communication Director Kompas Gramedia Rusdi Amral mengatakan bahwa Jakob Oetama merupakan legenda, jurnalis sejati yang tidak hanya meninggalkan nama baik, tetapi juga kebanggaan yang selalu memberikan nilai-nilai kehidupan bagi Kompas Gramedia.
“Beliau sekaligus teladan dalam profesi wartawan yang turut mengukir sejarah jurnalistik Bangsa Indonesia. Walaupun kini beliau telah tiada, nilai dan idealismenya akan tetap hidup dan abadi selamanya,” katanya.