Alicia Vikander menyelami budaya Jepang untuk film "Earthquake Bird"

id Alicia vikander, earthquake bird, tiff 2019, festival film tokyo,Tidak adanya label rekaman yang menaungi juga membuat musisi dapat berkarya tanpa ada

Alicia Vikander menyelami  budaya Jepang untuk film "Earthquake Bird"

Ki-ka: Naoki Kobayashi, Alicia Vikander dan sutradara Wash Westmoreland dalam konferensi pers film "Earthquake Bird" di Tokyo International Film Festival 2019, Roppongi Hills, Tokyo, Jepang, Selasa (29/10). (ANTARA/Nanien Yuniar)

Tokyo (ANTARA) - Aktris Swedia Alicia Vikander menyelami budaya Jepang, termasuk memahami bahasanya, untuk memerankan karakter ekspatriat di Jepang dalam film misteri "Earthquake Bird" arahan sineas Inggris Wash Westmoreland.

Film, diangkat dari novel karya penulis Inggris Susanna Jones, berlatarbelakang Tokyo pada tahun 1989.

Alkisah, seorang ekspatriat bernama Lucy Fly (Alicia Vikander) dituduh jadi pembunuh saat kawannya, Lily (Riley Keough) menghilang di tengah cinta segitiga yang melibatkan Teiji (Naoki Kobayashi), seorang fotografer lokal berparas tampan.

Dalam konferensi pers di Festival Film Internasional Tokyo (Tokyo International Film Festival/TIFF) 2019, Alicia menyapa para pewarta dengan bahasa Jepang dalam logat yang cukup fasih.

"Saya gugup sekali karena sejak tadi berusaha mengingat-ingat bahasa Jepang," seloroh Alicia di Roppongi Hills, Tokyo, Jepang, Selasa (29/10).

Proyek film "Earthquake Bird" adalah kolaborasi antar budaya yang membuatnya lebih mengenal seluk beluk Negeri Sakura. Menurut Alicia, film yang akan tayang di Netflix mulai pertengahan November itu merupakan salah satu perubahan di industri film global.

"Sekarang industri film di dunia semakin kecil," ujar dia, merujuk batas-batas negara yang semakin pudar karena kolaborasi kian sering terjalin.

Belajar bahasa lain adalah salah satu cara terbaik untuk saling memahami, dan dalam hal ini juga metode untuk menyelami karaker Lucy.

Ketika membedah skenario, dia membaca seluruh naskahnya dalam bahasa Inggris untuk mempelajari konteks hingga lapisan-lapisan emosi di balik kata-kata tersebut. Kemudian, naskahnya diterjemahkan agar sesuai dengan lapisan emosi di balik kalimat-kalimat yang harus ia ucapkan.

Sekarang, peraih piala Oscar 2016 itu merasa lebih dekat dengan budaya Jepang yang jauh berbeda dengan kampung halamannya. Ia kini terbiasa dengan gaya estetika minimalis khas Negeri Sakura hingga makanan seperti ikan mentah dan acar.

"Saya punya makanan favorit baru, soba," kata dia.

Bekerjasama dengan sineas Wash Westmoreland dan merasakan pengalaman serba baru di Asia merupakan sebuah keistimewaan, ujar Alicia.

"Saya senang banget main di film ini, semua kru dan orang-orang yang saya temui sangat baik dan mereka pekerja keras," tutur Alicia yang juga hadir di karpet merah TIFF 2019.

Sutradara Wash Westmoreland mengatakan "The Earthquake Bird" mengangkat kisah istimewa mengenai hubungan antara budaya Barat dan Timur.

"Menurut saya ini bukan film thriller biasa, tapi lebih pada drama psikologis karena misterinya ada pada masa lalu dan benak Lucy," ujar Wash saat ditanya mengenai perbedaan film thriller ini dengan film thriller ala Barat dan Timur.

"Kurasa ini lebih mirip dengan film thriller tahun 90-an, lebih mirip film Kiyoshi Kurosawa, tentang psikologi dan kompleksitas antara karakternya," kata Wash.

Bersama para pemain, seperti Alicia Vikander, Wash berdiskusi tentang detil dan sama-sama mengeksplorasi seluk-beluk karakter yang bakal mereka mainkan.

"Saya beruntung bisa bekerjasama dengan aktris hebat dunia," ujar dia. "Ketika saya bertemu Alicia dan merasakan ada koneksi, saya langsung tahu dia adalah yang terbaik untuk karakter ini."

Karakter Lily diberikan pada Riley Keough yang menguarkan energi bertolak belakang dengan peran Lucy. Selain menyukai akting dari cucu tertua Elvis Presley itu, Wash mengungkapkan kedua aktris punya kecocokan yang menarik dalam menggambarkan hubungan antara Lucy dan Lily.

"Ini seperti Yin dan Yang yang bagus dalam kasting," katanya.