Jakarta (ANTARA) - Tapai uli, salah satu penganan yang umum buat masyarakat Betawi disajikan pada berbagai hari istimewa termasuk saat Lebaran.
Makanan manis ini berbahan dasar ketan putih, ketan hitam, ragi dan kelapa. Rasa manis sebenarnya bukan hanya berasal dari bahan-bahannya, tetapi juga saat peragian dan tradisi khusus ketika membuatnya, menurut Marfuah (51), seorang Betawi yang tinggal di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Sebelum beranjak pada peragian, Marfuah mengungkapkan perbedaan bahan ketan yang digunakan untuk tapai dan uli.
"Ketan untuk tapai dan untuk uli beda. Kalau untuk tapai ada yang disebut ketan solo. Untuk uli ada yang namanya ketan paris," kata dia pula.
Cara membuatnya punya tingkat kesulitan tersendiri. Ketan hitam dan putih dicuci bersih lalu direndam selama satu jam. Setelah itu, tiriskan ketan dan kukus sampai akas.
Langkah berikutnya, angkat ketan lalu cuci menggunakan air dingin hingga ketan dingin. Setelahnya, kukus kembali ketan sampai matang. Ketan yang sudah matang kemudian ditaruh di atas tampah hingga benar-benar dingin.
Sementara itu, siapkan ragi dan tumbuk halus. Ragi halus ini kemudian ditaburkan pada ketan yang sudah dingin. Masukkan ketan ke dalam wadah lalu tutup.
"Lalu masukan sedikit demi sedikit ketan ke dalam wadah sambil ditambahin ragi," kata Marfuah yang tinggal di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur itu.
Penambahan ragi pada ketan menjadi proses tersulit. Di sinilah penentuan berhasil tidak ketan. Tak hanya itu, ada sejumlah hal yang biasanya dipatuhi orang Betawi saat peragian ini.
"Waktu saya masih belajar membuat tapai, sama emak dikasih tahu, kalau membuat tapai enggak boleh sambil mengobrol, harus mandi dulu biar rapi dan tapainya manis," ujar Marfuah.
Tak hanya itu, pikiran dan suasana hati juga harus tenang. Jika hal ini tak bisa dilakukan, sementara tinggalkan dulu peragian karena akan mempengaruhi rasa tapai.
Marfuah mengaku sempat tak percaya hal semacam ini. Tapi akhirnya, dia memahami alasan di baliknya.
"Pernah beberapa tahun lalu, saya membuat tapai dalam keadaan sedih karena tahun itu pertama kami Lebaran enggak sama orang tua. Pikiran saya galau kalau kata anak zaman sekarang. Tapainya enggak jadi, asem dan enggak berair," kata dia pula.
Marfuah mengatakan, tapai uli resep keluarganya sudah terkenal di kawasan tempat tinggalnya. Dia berharap terus mempertahankan tradisi keluarga membuat tapai uli terutama di hari Lebaran.
"Tapai emak saya terkenal enak. Saya enggak mau ngilangin hal itu. Makanya semaksimal mungkin saya berusaha untuk tetap bikin tapai di waktu Idul Fitri. Sepupu saya kalau datang pasti nyariiin tapai uli," demikian, kata dia lagi.