Muratara, Sumsel (ANTARA) - Komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam (SAD) atau biasa disebut "Orang Rimba" di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan perlahan mulai meninggalkan tradisi yang diturunkan nenek moyang mereka terdahulu yakni "melangun" dan "basale".
Ketua Adat SAD di Desa Sungai Jernih, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) Japarin, Rabu, mengungkapkan dua tradisi itu hampir tidak pernah lagi dilaksanakan seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern.
"Kalau waktu saya kecil dulu tradisi itu masih sering, tapi sekarang sudah tidak ada lagi, mungkin SAD seumuran saya yang terakhir mengikuti tradisi itu," kata pria yang sudah lanjut usia itu, seraya terbata-bata menceritakan kepada ANTARA.
Japarin menjelaskan, "melangun" merupakan tradisi berpindah-pindah rumah dari satu tempat ke tempat lain apabila ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia di dalam rumah tersebut.
Menurut dia, perpindahan tempat tinggal itu karena dinilai rumah yang ditempatinya mendatangkan sebuah kesialan, sehingga mereka harus berpindah dan membangun rumah baru di tempat lain.
"Kalau ada yang meninggal langsung dikubur, setelah itu kami langsung pergi pada hari itu juga, satu malam pun tidak kami tempati lagi rumah itu, karena bagi kami rumah itu sial," ujarnya.
Dalam tradisi SAD, apabila rumah yang baru saja ada anggota keluarganya meninggal dunia namun masih dihuni, maka kematian akan kembali menimpa keluarganya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Untuk menghindari kesialan yang seolah sudah menjadi kutukan itu, maka seluruh anggota keluarga SAD yang masih hidup harus berpindah agar terhindar dari belenggu kesialan yang mereka yakini.
"Itulah tradisi kami waktu itu, karena ada semacam ketakutan bakal terkena sial juga kalau tidak segera pindah, tapi sekarang tradisi itu mulai ditinggalkan, kami sudah menetap, tidak pindah-pindah lagi," katanya.
Ia melanjutkan, selain tradisi "melangun" begitu pun tradisi "basale" yang merupakan ritual untuk menyembuhkan orang sakit juga perlahan ditinggalkan setelah adanya pusat kesehatan masyarakat hingga ke pelosok daerah.
"Dulu memang kalau ada orang yang sakit maka orang tua kami bersama warga SAD lainnya mengadakan upacara atau ritual basale untuk mengusir roh jahat dalam tubuh orang yang sakit itu," katanya.
Sementara, tokoh pemuda pemerhati SAD, Supandri secara terpisah menuturkan saat ini hampir tidak ada lagi SAD di Kabupaten Muratara yang masih menerapkan tradisi "melangun" karena mereka sudah menetap di satu tempat.
"Memang masih ada SAD yang pindah-pindah, tapi mereka itu bukan karena tradisi melangun lagi, mereka mau mencari kebutuhan hidup sehari-hari, mereka tinggal di kebun-kebun sawit mencari berondolan untuk dijual," ujarnya.
Ia menambahkan, selain sudah menetap, kini SAD juga bisa bersosialisasi dengan orang-orang selain dari komunitasnya dan berkehidupan seperti masyarakat pada umumnya, baik dari segi berpakaian, berinteraksi, dan lain sebagainya.
"Sekarang kehidupan mereka sudah modern, di antara mereka ada yang punya smartphone, sepeda motor bahkan mobil, kemudian anak-anak mereka juga sudah ada yang jadi sarjana," katanya.
Ia melanjutkan, tradisi "melangun" itu perlahan menghilang setelah SAD mendapat pembinaan dari pemerintah agar mereka hidup menetap dan tidak lagi berpindah-pindah atau nomaden.
"Sekitar tahun 1960-an, ada pemerintah namanya Pesirah, jadi mereka diberi pemahaman, akhirnya mereka tetap di rumah walaupun ada anggota keluarga yang meninggal, dan ternyata tidak terjadi apa-apa, dari situlah tradisi melangun mulai hilang," ceritanya.
Begitu pun tradisi "basale" kata dia, sudah tidak pernah dijumpai kembali di kalangan SAD, karena pemerintah telah menganjurkan agar warga SAD berobat di pusat kesehatan masyarakat apabila ada yang menderita sakit.
"Sejak hari itu, mereka bisa berobat di pusat kesehatan yang disediakan pemerintah, dan ternyata beberapa penyakitnya bisa disembuhkan, akhirnya tradisi basale itu juga perlahan mulai ditinggalkan," katanya.