Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan tujuh hal pokok merespons kajian dan kritik yang disampaikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) terhadap kinerja KPK selama empat tahun ini.
"Bagi kami, kajian seperti ini akan sangat membantu KPK untuk mengidentifikasi lebih jelas bagian-bagian mana yang perlu diperkuat dan yang masih belum maksimal dikerjakan KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Senin.
Adapun tujuh hal pokok itu adalah, pertama, kata Febri, peningkatkan jumlah kasus di penindakan.
"Sejak pimpinan jilid ini dilantik pada Desember 2015 lalu, tren penindakan KPK selama kurun waktu 2015-2018 selalu mengalami kenaikan. Penyidikan dari 99 di tahun 2016 menjadi 199 kasus di tahun 2018. Penuntutan dari 76 menjadi 151 kasus," ujar Febri.
Kedua, lanjut Febri, sejumlah kasus korupsi besar dan menjadi perhatian publik ditangani dalam era kepemimpinan saat ini, yaitu Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pertama kali ditingkatkan ke penyidikan pada Maret 2017.
"Kemudian, KPK tidak berhenti pada satu orang tersangka. Saat ini, proses pengembangan perkara juga sedang berjalan di KPK," katanya lagi.
Adapun pengembangan perkara itu, yakni mantan Ketua DPR RI Setya Novanto diproses dalam kasus KTP elektronik, proses hukum terhadap enam korporasi, yakni PT Duta Graha Indah atau PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE), PT Tuah Sejati, PT Nindya Karya (Persero), PT Tradha, PT Merial Esa, dan PT Palma Satu.
"Sedangkan kasus TPPU pertama kali adalah untuk korporasi PT Tradha sebagai pengembangan kasus Kebumen," kata Febri pula.
Ketiga, kata Febri, soal sejumlah kasus korupsi dengan kerugian negara triliunan rupiah seperti kasus pemberian keterangan lunas BLBI dengan kerugian negara Rp4,58 triliun, pengadaan KTP-el dengan kerugian negara Rp2,3 triliun, izin pertambangan di Kabupaten Konawe Utara Rp2,7 triliun, dan izin pertambangan di Kabupaten Kotawaringin Timur Rp5,8 triliun.
Keempat, terkait dengan tinggi rendah tuntutan terhadap terdakwa, KPK memandang hal tersebut tidak bisa dianalisis menggunakan pendekatan rata-rata karena berbagai pertimbangan, yaitu bentuk korupsi yang berbeda memiliki ancaman pidana yang berbeda.
"Misalnya menurut pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pemberi suap diancam pidana maksimal 5 tahun. Sedangkan kasus suap merupakan kasus yang paling dominan ditangani KPK dalam 4 tahun berjalan ini, sehingga tinggi rendah tuntutan dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun tentu tidak bisa dirata-ratakan dengan ancaman pidana 20 tahun atau seumur hidup," ujar Febri.
Menurutnya, penuntut umum perlu memperhatikan sikap kooperatif atau tidak pelaku korupsi jika terdakwa koperatif, maka secara adil tuntutan tentu tidak dapat berikan maksimal sehingga hal ini bersifat kasuistis.
"Jika seorang terdakwa menjadi 'justice collaborator', maka tuntutan akan dijatuhkan lebih rendah. Hal ini juga bersifat kasuistis," kata Febri pula.
Ia pun menyatakan jika ke depan hal ini menjadi perhatian pihak peneliti dalam melakukan kajian atau evaluasi terhadap tuntutan KPK, maka diharapkan hasilnya dapat lebih baik dan sangat membantu KPK.
"Bahkan, jika dibutuhkan dapat dilakukan kajian lebih mendalam terhadap materi-materi perkara-perkara yang ditangani, sebagaimana yang dulu pernah dilakukan ICW dan TII yang dapat dilakukan terhadap putusan-putusan tindak pidana korupsi," ujar Febri.
Kelima, kata dia, terkait catatan terhadap penyerapan anggaran KPK bahwa dalam penggunaan anggaran, lembaganya berupaya merencanakan penganggaran sebaik mungkin dan menggunakan seefektif mungkin.
KPK memandang sudah tidak saatnya kemampuan menghabiskan anggaran sebagai indikator keberhasilan, namun lebih tepat jika menggunakan indikator efektivitas penggunaan anggaran dan pelaksanaan tugas dan wewenang.
"Karena APBN yang dialokasikan ke KPK harus digunakan dengan sebaik-baiknya dengan prinsip anggaran berbasis kinerja," ujar Febri.
Keenam, Febri menyatakan bahwa KPK melakukan penguatan sumber daya manusia (SDM) di bidang penindakan.
Ia mengungkapkan pimpinan KPK telah mengambil kebijakan proses rotasi dalam untuk memperkuat tenaga penyidik, sebagaimana yang diterapkan pertama kali tahun ini yang mengangkat 21 orang penyidik dari sumber penyelidik.
"Selain itu, proses seleksi penyidik dari unsur Polri juga dilakukan. Pada Mei 2019 ini sedang berlangsung, di mana sekitar 19 orang anggota Polri lulus sampai tahap seleksi kompetensi. Berikutnya akan mengikuti tes kesehatan dan wawancara," ujarnya.
KPK, kata dia, juga terus akan menambah SDM untuk mengisi unit-unit yang bekerja dan terkait di bidang penindakan, seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta unit terkait lainnya.
Ketujuh, kata Febri, untuk program pencegahan membutuhkan komitmen yang sama kuatnya antara KPK dan pihak yang ingin diperbaiki serta "political will" yang kuat dari unsur pimpinan instansi masing-masing baik pusat atau daerah.
"Masyarakat juga dapat memantau perkembangan pelaksanaan upaya pencegahan melalui sejumlah 'website' yang dikelola KPK, yaitu kepatuhan LHKPN di https://www.kpk.go.id/id/
Selanjutnya, pengawasan implementasi LHKPN di instansi pada 2018 adalah 91,07 persen, pengawasan kepatuhan LHKPN per 31 Maret 2019 adalah 75,05 persen, dan sampai saat ini kepatuhan LHKPN mencapai 85,44 persen.
"Saat ini, progres LHKPN periodik tahun 2018 yang dilaporkan sejak awal 2019 juga telah dapat dilihat di bagian monitoring kepatuhan di https://elhkpn.kpk.go.id/
Karena itu, kata dia, dalam pelaksanaan tugasnya, KPK memang sangat membutuhkan dukungan dan kerja sama sejumlah pihak baik dari institusi pemerintahan, penegak hukum, media massa, dan masyarakat sipil.
"Kajian-kajian yang menjadi evaluasi bagi KPK merupakan salah satu hal penting yang kami tempatkan sebagai bagian dari upaya memperkuat KPK dan meningkatkan akuntabilitas kinerja KPK. Kami tentu akan berbuat semaksimal mungkin dalam ikhtiar pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Febri pula.