Beberapa hari lagi bangsa Indonesia terutama para perempuan tanpa kecuali wajib memperingati Hari Kartini untuk mengenang tokoh emansipasi wanita itu yang dahulu berusaha berjuang sekuat tenaga meningkatkan harkat dan martabat kaumnya.
Namun, muncul pertanyaan mengapa makin banyak wanita yang tak menunjukkan penghormatannya kepada tokoh langka itu? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini menahan Bupati Bandung Barat, Jawa Barat, Abubakar yang diduga keras "minta uang" kepada beberapa anak buahnya yang menjadi kepala dinas demi sang istrinya, Elin Suharliah yang sedang mengikuti "pertandingan" pemilihan kepala daerah serentak pada 27 Juni tahun 2018.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengungkapkan kepada wartawan bahwa Bupati Bandung Barat tersebut disangkakan telah minta "setoran" bernilai ratusan juta rupiah kepada beberapa anak buahnya untuk membiayai keikutsertaan Elin Suharliah dalam kontes untuk menggantikan dirinya termasuk membayar "upah" beberapa lembaga survei yang melakukan penelitian terhadap sang istri tercintanya.
Karena lembaga antirasuah itu masih harus bekerja keras dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus ini, maka tentu masyarakat di Tanah Air terutama warga Bandung Barat harus bersabar untuk menanti hasil pemeriksaan terhadap Abubakar dan juga mungkin istrinya, dengan memegang teguh prinsip atau azas praduga tak bersalah yaitu dia tak boleh dianggap bersalah sampai dengan munculnya kekuatan hukum pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Namun kasus Elin dan suaminya itu sangat menarik untuk dipikirkan dan direnungkan bahwa kok sampai detik ini masih saja muncul dugaan kasus korupsi yang baik secara langsung maupun tidak langsung melibatkan kaum perempuan.
Beberapa bulan lalu, seorang wanita yang sebenarnya telah "enak-enak duduk" di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bernama Miryam Haryani yang "terpaksa" harus diseret ke meja hijau gaar-gara diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-E) yang nilainya" segunung" sekitar Rp5,9 triliun yang hampir separuhnya kurang lebih Rp2,3 triliun telah" dimakan" atau diduga keras dinikmati segelintir tokoh masyarakat mulai dari mantan ketua DPR Setya Novanto yang pada sekitar tahun 2011 menjadi pimpinan Fraksi Golkar di Senayan, Jakarta Pusat hingga sejumlah pengusaha dan pejabat di Kementerian Dalam Negeri.
Sebelumnya juga ada kasus yang menimpa Bupati Subang, Jawa Barat, Imas Aryumningsih yang diseret lembaga antirasuah gara-gara terlibat dalam dugaan kasus korupsi. Padahal Imas menggantikan dua bupati yang sebelumnya yang "terdepak" dari kursi yang sangat empuk itu juga karena " main-main" dengan uang rakyat yang jumlahnya miliaran rupiah.
Sebelumnya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang juga terpaksa harus tergusur dari posisinya yang sangat "menggiurkan" itu karena lagi-lagi terlibat dalam kasus korupsi.
Ratu Atut terbukti bersalah karena ikut-ikutan menikmati uang korupsi yang seharusnya dimanfaatkan untuk menaikkan harkat dan martabat rakyatnya termasuk kaum wanitanya. Dia terbukti memberikan kesempatan kepada segeintir anggota keluarga besarnya untuk menangani berbagai proyek besar.
Belum lagi rakyat Indonesia tak akan pernah lupa dengan nama anggota DPR Angelina Sondakh yang saat menjadi wakil rakyat yang sangat "terhormat" karena terbukti telah melibatkan diri ke dalam arus korupsi proyek-proyek pemerintah yang nilainya miliaran rupiah.
Memang harus disadari nama-nama seperti Elin yang masih dibuktikan keterlibatannya dalam kasus korupsi di pengadilan, Miryam Haryani, Ratu Atut bahkan bupati nonaktif Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Rita Widyasari yang juga harus terjungkal dari kursi empuknya itu lagi-lagi karena terlibat kasus korupsi hanyalah merupakan segelintir, yang terlibat kasus kejahatan, dari lebih dari 100 juta perempuan di Tanah Air.
Akan tetapi, menjelang peringatan Hari Kartini pada 21 April 2018, kasus-kasus kejahatan yang menimpa beberapa perempuan perlu dijadikan masukan agar musibah-musibah itu tak terulang lagi di masa mendatang.
RA Kartini Raden Ajeng Kartini dan juga Dewi Sartika memang merupakan beberapa wanita di Tanah Air yang amat langka yang semasa hidupnya mati-matian berusaha memperjuangkan kehormatan dan harkat kaum wanita Indonesia.
Pada masa lalu, perempuan Indonesia sangat terkungkung oleh situasi yang tak menguntungkan mereka. Perempuan- perempuan saat itu praktis tak berhak menikmati pendidikan sehingga tetap "bodoh" jika dibandingkan kaum lelaki. Kewajiban mereka cuma "menjaga" rumah yaitu keluarganya.
Melihat ketidakadilan itu, Kartini dan juga Dewi Sartika dengan cara masing-masing berusaha keras menerobos situasi yang tak enak itu. Kedua perempuan itu sesuai dengan kemampuannya masing- masing berusaha keras mendidik perempuan di sekitarnya sehingga menjadi orang-orang yang bermartabat.
Apa hasilnya ? Kini, begitu banyak perempuan Indonesia yang telah sukses baik sebagai wanita yang seutuhnya maupun sebagai tokoh di lingkungannya. Sebu saja, nama Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Tri Rismaharini. Sang Wali Kota ini berhasil membangun ibu kota Jawa Timur ini, dengan menempuh kebijaksanaan yang populis. Tri Rismaharini tak sungkan terjun ke lapangan untuk memperbaiki kekurangan yang dirasakan rakyatnya.
Tri Rismaharini tak segan mengomeli karyawan atau pegawai-pegawainya yang dianggapnya tak maksimal dalam melayani rakyat Surabaya. Bahkan dia tak ragu untuk menolak tarwaran, harapan atau bahkan desakan untuk menjadi calon gubernur Jawa Timur dalam Pilkada Serentak pada 27 Juni 2018 yang ibaratnya "tinggal digenggamnya".
Sementara itu, pada tahun 2017, terpilihnya para anggota KPK tidak terlepas sedikitpun dari peranan kaum perempuan yang terpilih sebagai anggota tim seleksi pemilihan anggota kPK yang ditunjuk Presiden Joko Widodo.
Kemudian pada tahun 1970-an hingga 80-an, seorang wanita ilmuwan, Doktor Pratiwi Sudharmono pernah mengangkat nama harum perempuan di Tanah Air, karena pernah dicalonkan sebagai bakal astronot Indonesia. Walaupun tak terdengar proses kelanjutannya, Pratiwi berhasil mengangkat nama harum wanita- wanita Indonesia saat itu.
Sebenarnya masih banyak wanita dalam negeri yang sukses membawa nama baik perempuan di Tanah Air, misalnya dari sektor ekonomi. Sebut saja, umpamanya Dewi Motik Pramono serta Mooryati Soedibyo.
Karena itu, menjelang hari besar peringatan Peringatan Hari Kartini, maka tidak ada salahnya apabila seluruh perempuan Indonesia harus bertekad untuk terus ikut meningkatkan citra kaumnya dan tidak lagi terjerumus dalam kasus- kasus kejahatan yang cuma menjelek-jelekkan citra dan kehormatan kaumnya di Tanah Air tercinta ini.
T/A011