Kemudian contoh lainnya, kata dia, di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), dimana anak-anaknya memanen tembakau.
Isu pekerja anak adalah isu yang multi dimensi, kata dia, bukan hanya tentang ekonomi namun juga dalam pengasuhan serta pemenuhan hak-hak anak, sehingga kolaborasi menjadi kunci untuk menangani hal itu. Sebagai contoh, lanjutnya, pemerintah daerah (pemda) dapat berperan serta melalui Kota atau Kabupaten Layak Anak (KLA).
Ai menuturkan dalam 24 indikator KLA antara lain tentang eksploitasi anak, termasuk cara menurunkan atau menanggulangi situasi pekerja anak.
"Di sini mengikat faktor-faktor, misalnya dunia usaha, dunia usaha juga harus sudah punya aturan, SOP, mekanisme bahkan di tingkat HRD bahwa usia yang memang layak masuk dalam tenaga kerjaan, tenaga kerja muda itu di atas usia anak, yaitu 18 tahun," katanya.
KPAI, lanjutnya, melakukan pengawasan bersama Dewan Pengawas Ketenagakerjaan dan melihat masih adanya anak-anak yang terlibat dalam situasi tersebut. Sejumlah rekomendasi yang diberikan oleh mereka, kata dia, adalah penarikan dari dunia kerja, remediasi, dan dikembalikan bekerja di tempat itu saat sudah dewasa.
Adapun untuk keluarga, kata dia, intervensinya adalah berupa penyadaran, edukasi, serta peningkatan kualitas dalam pengasuhan.
"Kita bisa bayangkan kalau di level sekolah pemerintah daerah, misalnya, sudah mengajak semua pihak, tetapi di keluarganya malah masih memperlakukan anak-anak kita ini untuk membantu dapurnya, membantu saat misalnya panen, dan lain sebagainya," kata Ai.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: KPAI: 1,14 juta anak masih dalam situasi pekerja anak