Jakarta (ANTARA) - Pendidikan di era 4.0 yang ditandai dengan berkembang pesatnya teknologi informatika dan internet mendatangkan tantangan yang semakin kompleks. Melalui gawai di genggaman tangan informasi dan budaya baru dari berbagai penjuru dunia membanjiri hingga ke ruang privat.
Oleh karena itu, menjadi urgensi bagi pendidik untuk bisa memberikan alat analisis bagi peserta didik agar kebudayaan bangsa Indonesia tidak tergerus.
Kebudayaan manusia di setiap penjuru dunia di setiap bangsa muncul, berkembang, lalu menjadi budaya yang mapan.
Kebudayaan antarbangsa saling berjumpa dan berdesakan sehingga kemudian terdapat kebudayaan yang bertahan bagi yang memiliki ketahanan kebudayaan yang tinggi, punah bagi yang ketahanan budaya lemah, atau muncul budaya baru bagi ketahanan kebudayaan yang tinggi dan terbuka.
Ketahanan kebudayaan yang sering disebut dalam istilah modern cultural resilience menjadi isu yang penting yang menjelaskan perjumpaan dan pertarungan kebudayaan.
Pada konteks paling sederhana, banyak bahasa lokal yang menjadi bagian dari budaya di berbagai penjuru dunia punah karena tidak memiliki lagi penuturnya sehingga kalah dan hilang dari peradaban.
Di era 4.0 Indonesia harus mengembangkan watak cultural resilience yang dimilikinya agar kebudayaan Indonesia tidak punah.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, pada tahun 1956 sebetulnya telah mengungkapkan kekhawatiran serupa dan menawarkan alat untuk mengatasinya. Ketika itu memang belum ada istilah cultural resilience tetapi spirit yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara telah mampu menangkap persoalan tersebut.
Alat itu berupa empat ukuran berupa Sifat, Bentuk, Isi, dan Irama (SBII) yang digunakan untuk mempertimbangkan, memilih, dan memilah nilai sebuah kebudayaan secara lengkap dan benar.
Pertama, sifat pokok dari setiap kebudayaan adalah universal yang boleh dianggap sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia untuk mempertinggi hidup dan penghidupannya.
Kedua, bentuk dari kebudayaan yang terjadi karena pengaruh kodrat alam yang di dunia ini berlainan macam dan rupanya. Ketiga, isi yaitu zaman atau waktu yang ditempati masyarakat yang biasanya menunjukkan sifat-sifat dan corak warna hidup kejiwaan yang spesifik dan terus-menerus berganti-ganti isinya seiring berjalannya waktu.
Terakhir, irama yang terkait cara menggunakan segala unsur kebudayaan itu di masyarakat.
Sifat dan bentuk adalah unsur-unsur yang timbul karena pengaruh kodrat alam, sedangkan isi dan irama sangat lekat hubungannya dengan zaman dan pribadi seseorang yang bersangkutan.
Cara penilaian dengan empat ukuran tersebut perlu digunakan karena Bangsa Indonesia juga
harus menghargai dan menilai anasir kebudayaan yang datang dari dunia luar terutama dunia Barat.
Ki Hadjar Dewantara percaya bahwa benar, Bangsa Indonesia harus meniru segala apa yang baik dari negeri manapun. Ambilah sifat-sifat dasar yang ada di seluruh dunia, yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan nasional Indonesia.
Di sisi lain, rakyat Indonesia harus berani, sanggup, dan mampu mewujudkan bentuk sendiri, isi sendiri, dan irama sendiri sebagai bangsa yang layak masuk dalam pergaulan dunia internasional sebagai bangsa yang memiliki kepribadian budaya sendiri.
Bangsa Indonesia bagi Ki Hadjar Dewantara, tidak harus menolak pengaruh-pengaruh kultural dari dunia luar umumnya, dunia Barat khususnya.
Jangan sekali-kali, Bangsa Indonesia harus mengambil sifat-sifat kebudayaan yang baik. Sebaliknya jangan memasukan bentuk, isi, dan irama dari luar yang tidak perlu.
Dengan demikian, rakyat jangan hanya meniru kebudayaan luar, tetapi diselaraskan lebih dahulu. Maksudnya, disesuaikan dengan rasa dan keadaan hidup Bangsa Indonesia. Inilah yang dinamakan “menasionalisasikan” budaya luar.
Ki Hadjar Dewantara mengamati banyak tokoh pergerakan kemerdekaan lahir dari pendidikan formal Barat yaitu kolonial, tetapi jiwa nasionalisme para tokoh tersebut tetap tinggi.
Desakan budaya Barat seperti Belanda dan Inggris ketika itu juga cukup deras karena mereka hidup di tengah-tengah Bangsa Indonesia, tetapi para tokoh bangsa tetap memegang teguh kebudayaan bangsa dengan jiwa nasionalismenya.
Ki Hadjar Dewantara menyebut peran keluarga dan masyarakat sekitar yang menyebabkan kebudayaan bangsa tetap melekat pada diri tokoh tersebut termasuk dirinya yang besar dari pendidikan Barat.
Para tokoh tersebut ketika masih anak-anak dan pemuda-pemuda hidup di rumah keluarganya masih dapat mengecap suasana kultural serta mendapat pengaruh dari berbagai tradisi kebudayaan lingkungannya sekalipun bukan dalam bentuk pendidikan budaya modern.
Di masa kini keteguhan memelihara kebudayaan bangsa tersebut dapat disebut cultural resilience.
Bagi Ki Hadjar Dewantara, Indonesia bukan Belanda, bukan Inggris, bukan Amerika. Indonesia adalah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Padang.
Indonesia bukan Amsterdam, Leiden, Utrecht, Groningen, bukan juga London, Cambridge, serta bukan juga kota-kota universitas Amerika.
Bangsa Indonesia wajib menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia cukup bebas dan merdeka serta berdaulat, untuk memilih sendiri segala apa yang kita perlukan.
Barat tidak boleh dianggap mutlak jelek. Banyak ilmu pengetahuan yang harus dikejar sekalipun dengan melalui sekolah-sekolah Barat.
Asas Trikon
Di Indonesia kini juga banyak pendidikan dan pengajaran yang dilakukan berdasarkan sistem asing seperti dari Australia, Jerman, Arab, Turki, Tiongkok, atau Korea.
Ini tidak mengapa, asalkan kepada anak-anak diberi pendidikan kultural dan nasional yang semua-semuanya bertujuan ke arah keluhuran manusia, nusa dan bangsa, tanpa memisahkan diri dari kesatuan kemanusiaan.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut Ki Hadjar Dewantara berpesan untuk mendidik anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri.
Di samping itu anak-anak harus mempelajari hidup kejiwaan rakyat Indonesia dengan ragam adat istiadatnya.
Dalam hal ini bukan ditiru secara mentah-mentah, namun karena bagi bangsa ini adat istiadat itu merupakan petunjuk-petunjuk yang sifat, bentuk, isi, dan iramanya telah berkembang di masyarakat.
Semboyan yang mengandung filsafat pada akulturasi kebudayaan yaitu “Asas Trikon” yang mengajarkan di dalam pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus terjadi 1) kontinuitas dengan alam kebudayaannya sendiri; 2) konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada; dan akhirnya 3) konsentris jika sudah bersatu dalam alam universal.
Bangsa Indonesia bersama masyarakat dunia mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang konsentris.
Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah yang bagi Ki Hadjar Dewantara disebut suatu bentuk dari sifat “Bhineka Tunggal Ika.
*) Penulis adalah Kandidat Guru Penggerak di Rumpin, Bogor, Jawa Barat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membangun "cultural resilience" pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara
Berita Terkait
Strategi pengenaan pajak bagi "family office"
Jumat, 22 November 2024 16:12 Wib
Garuda sangat mungkin mendapatkan tambahan enam poin
Jumat, 22 November 2024 12:58 Wib
Menyorot performa keselamatan di jalan tol
Rabu, 20 November 2024 13:29 Wib
Mengurangi risiko bencana dari desa
Senin, 18 November 2024 16:13 Wib
Sumsel gotong royong cetak sawah baru
Minggu, 17 November 2024 11:48 Wib
Garuda "mengoyak" statistik
Jumat, 15 November 2024 8:30 Wib