Mengurangi risiko bencana dari desa

id desa,bencana,siaga bencana,potensi bencana,mitigasi,destana,podes,bps

Mengurangi risiko bencana dari desa

Kondisi Pasar Boru dengan latar belakang erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Desa Boru, Wulanggitang. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/YU

Jakarta (ANTARA) - Sebuah organisasi non-pemerintah yang berbasis di Jerman, dalam laporan mengenai risiko pada 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua paling berisiko terhadap bencana, dengan skor indeks risiko sebesar 43,50. Padahal, pada tahun sebelumnya, Indonesia masih berada di urutan ketiga, dengan skor 41,46. Peningkatan ini mengindikasikan risiko terhadap bencana di Indonesia semakin besar dan perlu mendapat perhatian serius.

Tidak bisa dipungkiri, berbagai jenis bencana memang masih sering terjadi di Indonesia. Memasuki penghujung tahun 2024 ini, contohnya, sejumlah wilayah di Indonesia dilanda bencana, seperti banjir, tanah longsor, angin puting beliung, letusan gunung api, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan. Baru-baru ini, juga terjadi bencana meletusnya Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Berbagai bencana yang melanda Indonesia tersebut tentu tidak hanya menimbulkan kerusakan infrastruktur, melainkan juga memakan korban manusia yang tidak sedikit. Dari sinilah, upaya pengurangan risiko bencana menjadi sangat penting dilakukan, tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga seluruh elemen masyarakat.

Hasil pendataan Potensi Desa (Podes) 2021 yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tidak semua desa/kelurahan di Indonesia berada pada permukiman yang aman. Terdapat 22,69 persen desa/kelurahan yang terletak di puncak/tebing, 16,32 persen di bantaran sungai, dan 5,70 persen di bawah jaringan transmisi listrik tegangan tinggi (SUTET/SUTT/SUTTAS).

Selain itu, pada 86,62 persen desa/kelurahan di Indonesia juga terdapat penyandang disabilitas, mencakup berbagai jenis disabilitas, seperti tunagrahita, tunadaksa, dan tunanetra. Kondisi geografis yang rawan serta adanya kelompok rentan ini membuat upaya pengurangan risiko bencana yang dimulai dari tingkat desa/kelurahan menjadi sangat penting agar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Antisipasi terhadap bencana alam sebenarnya sudah diupayakan di beberapa desa/kelurahan di Indonesia. Hasil pendataan Podes 2021 mencatat bahwa 41,94 persen desa/kelurahan telah memiliki langkah-langkah antisipasi, seperti sistem peringatan dini, perlengkapan keselamatan, jalur evakuasi, serta normalisasi sungai dan kanal.

Sejak 2012, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga telah mencanangkan program Desa Tangguh Bencana (Destana) melalui Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). Hingga saat ini, sudah ada 1.506 desa/kelurahan yang mendapat penguatan ketangguhan, namun implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan.

Dalam pelaksanaan Destana, peran serta masyarakat dan pemanfaatan teknologi informasi menjadi sangat krusial. Sistem peringatan dini membutuhkan inovasi dalam teknologi informasi, baik dalam penggunaan sistem maupun penyebaran informasinya kepada warga.