Membangun "cultural resilience" pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara

id Cultural resilience,bidang pendidikan,ki hadjar dewantara,Asas Trikon

Membangun "cultural resilience" pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara

OIKN adakan pelatihan kepada kepala sekolah dan tenaga pendidik di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara untuk mengembangkan konsep pendidikan model baru di Kota Nusantara (ANTARA/HO-dokumen Otorita Ibu Kota Nusantara)

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, pada tahun 1956 sebetulnya telah mengungkapkan kekhawatiran serupa dan menawarkan alat untuk mengatasinya. Ketika itu memang belum ada istilah cultural resilience tetapi spirit yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara telah mampu menangkap persoalan tersebut.

Alat itu berupa empat ukuran berupa Sifat, Bentuk, Isi, dan Irama (SBII) yang digunakan untuk mempertimbangkan, memilih, dan memilah nilai sebuah kebudayaan secara lengkap dan benar.

Pertama, sifat pokok dari setiap kebudayaan adalah universal yang boleh dianggap sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia untuk mempertinggi hidup dan penghidupannya.

Kedua, bentuk dari kebudayaan yang terjadi karena pengaruh kodrat alam yang di dunia ini berlainan macam dan rupanya. Ketiga, isi yaitu zaman atau waktu yang ditempati masyarakat yang biasanya menunjukkan sifat-sifat dan corak warna hidup kejiwaan yang spesifik dan terus-menerus berganti-ganti isinya seiring berjalannya waktu.

Terakhir, irama yang terkait cara menggunakan segala unsur kebudayaan itu di masyarakat.

Sifat dan bentuk adalah unsur-unsur yang timbul karena pengaruh kodrat alam, sedangkan isi dan irama sangat lekat hubungannya dengan zaman dan pribadi seseorang yang bersangkutan.

Cara penilaian dengan empat ukuran tersebut perlu digunakan karena Bangsa Indonesia juga
harus menghargai dan menilai anasir kebudayaan yang datang dari dunia luar terutama dunia Barat.

Ki Hadjar Dewantara percaya bahwa benar, Bangsa Indonesia harus meniru segala apa yang baik dari negeri manapun. Ambilah sifat-sifat dasar yang ada di seluruh dunia, yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan nasional Indonesia.