Mestika, yang punya nama panggilan Tika dan merupakan pekerja migran Indonesia, mengaku sudah sekitar 5 tahun bekerja di Malaysia.
Sebelum kembali ke Batu Caves, Selangor, tempatnya bekerja sekarang, ia bersama dua rekannya, satu merupakan warga negara Indonesia (WNI) dan lainnya berasal dari Sabah, menyempatkan diri menikmati makan siang di restoran itu.
Desy Aryanti, rekan Tika asal Tebing Tinggi, Sumatera Utara, yang sudah bekerja sekitar 4 tahun di Malaysia, baru pertama makan nasi kapau di sana dan mengaku bisa menikmati citarasa Minang yang disajikan di restoran itu.
Saat ditanya menu favoritnya di sana, gulai tunjang jadi pilihan tak terlewatkan bagi mereka. Dan ekspresi wajah mereka mendukung jawaban mereka.
Siang itu, Tika menikmati nasi kapau dengan lauk gulai tunjang, plus es alpukat. “Best!” kata Tika.
Begitu pula dengan Sultia Mardini asal Kota Padang yang sedang berlibur di Kuala Lumpur. Bersama dengan anak dan cucunya siang itu menikmati masakan Minang di Restoran Nasi Kapau tersebut.
Ayam Pop menjadi salah satu menu yang mereka pesan. Namun tidak lupa Sultia memesan gulai tunjang untuk dibawa pulang.
“Untuk makan malam,” ujar dia. Karena pada akhir pekan itu mereka tidak berencana memasak sendiri.
Sultia yang berdarah Minang tentu dengan mudah dapat merasakan perbedaan rasa nasi kapau yang biasa dinikmati di tempat asalnya, yakni Bukit Tinggi, dengan yang ada di Kuala Lumpur.
Namun demikian, untuk ukuran nasi kapau yang dinikmatinya di luar negeri, masakan yang disajikan di Restoran Nasi Kapau di pusat Kota Kuala Lumpur itu sudah sangat mewakili kelezatan masakan khas Minang tersebut.