Visi kerdigantaraan nasional butuh direvitalisasi

id visi kedirgantaraan nasional,revitalisasi visi kedirgantaraan,space policy 2045,TNI AU,TNI Angkatan Udara,seminar nasion

Visi kerdigantaraan nasional butuh direvitalisasi

Pesawat tempur F-16 Fighting Falcon TNI AU melakukan flypass dalam gladi bersih Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (3/10/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/YU/aa.

Jakarta (ANTARA) - Seminar Nasional Kerdigantaraan yang dihidupkan kembali oleh TNI Angkatan Udara di Jakarta, Selasa, mengirimkan satu pesan penting: Visi kedirgantaraan nasional butuh direvitalisasi.

Di tengah majunya teknologi kedirgantaraan, yang saat ini mulai menggunakan sistem nirawak dan kecerdasan buatan, potensi ekonomi dan ancaman keamanan wilayah udara dan antariksa juga berkembang. Namun, tanpa adanya visi kedirgantaraan yang tepat dan berkesinambungan, pemanfaatan atas potensi kedirgantaraan dan kemampuan mengantisipasi ancaman yang berkembang itu pun menjadi tercerai-berai.

Jika berkaca pada sejarah, Indonesia salah satu negara di Asia Tenggara yang cukup awal merumuskan visi kedirgantaraannya, terlihat dari terbentuknya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada 1963, yang merupakan tindak lanjut dari instruksi Presiden Ke-1 RI kepada Juanda (Ketua Dewan Penerbangan RI/Menteri Pertama RI) dan R. J. Salatun (Sekretaris Dewan Penerbangan RI).

Berbekal instruksi itu, keduanya pada 31 Mei 1962 membentuk Panitia Astronautika, yang kemudian berhasil meluncurkan dua roket seri Kartika berikut telemetrinya.

Lapan baru resmi terbentuk sekitar 1 tahun kemudian sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 236 Tahun 1963.

Dalam rentang waktu 30 tahun setelah Lapan terbentuk, Presiden Ke-2 RI lanjut membentuk Dewan Penerbangan dan Antariksa (Depanri), yang tugas utamanya antara lain merumuskan kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan, telekomunikasi, dan kepentingan nasional lainnya, kemudian memberi pertimbangan, pendapat dan saran kepada Presiden mengenai pengaturan dan pemanfaatan wilayah udara dan antariksa. Depanri saat itu dipimpin langsung oleh Presiden RI, yang jajaran pengurusnya terdiri atas Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BPPT (selaku wakil ketua/pelaksana harian); kepala Lapan (sekretaris dan anggota); kemudian tujuh anggotanya, yaitu menteri luar negeri, menteri pertahanan keamanan, menteri perindustrian dan perdagangan, menteri perhubungan, menteri pariwisata, seni, dan budaya, menteri perencanaan pembangunan nasional/kepala Bappenas, dan terakhir kepala staf TNI Angkatan Udara.

Pada periode itu, setidaknya sejak 1963–2003, Indonesia berhasil menggelar dua kongres kedirgantaraan, yaitu Kongres Ke-1 Kedirgantaraan Nasional pada 1998 dan Kongres Ke-2 Kedirgantaraan Nasional pada 2003.

Selepas itu, peneliti The National Air & Space Power Center of Indonesia (NASPCI) Curie Maharani Savitri menyebut perhatian terhadap kedirgantaraan nasional mengalami “pasang surut”.

Beberapa momen surut itu, ditandai dengan bubarnya Depanri pada 2014 dan kongres kedirgantaraan nasional yang tidak berlanjut selama kurang lebih 20 tahun sejak kongres terakhir digelar.

Oleh karena itu, TNI AU berinisiatif menghidupkan kembali forum yang secara nasional mengangkat kembali isu-isu tentang kedirgantaraan, termasuk di antaranya konsepsi visi kedirgantaraan nasional setelah vakum selama 20 tahun.

“Seminar Nasional Kedirgantaraan Tahun 2023 yang diselenggarakan hari ini diharapkan dapat menjadi bagian penting dalam merumuskan strategi dan arah kebijakan jangka panjang untuk memberdayakan sumber daya nasional bidang kedirgantaraan Indonesia, serta meningkatkan minat kedirgantaraan di berbagai lapisan masyarakat,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo saat menyampaikan pidato pembukanya dalam acara seminar di Jakarta, Selasa.


Raison d’etre revitalisasi

Kebutuhan untuk merevitalisasi konsepsi kedirgantaraan nasional menjadi mendesak ketika Indonesia dihadapkan pada teknologi kedirgantaraan dan antariksa yang semakin mutakhir dalam beberapa tahun terakhir.

Kemajuan teknologi itu pun pada akhirnya meningkatkan kemampuan negara-negara, termasuk Indonesia, untuk memanfaatkan lebih optimal wilayah udaranya dan ruang angkasa.

Kepala Staf TNI Angkatan Udara, dalam pidato kuncinya, menyitir hasil analisis para ahli yang memprediksi ekonomi kedirgantaraan nasional tumbuh sampai mendekati 300 persen pada 2031. Pertumbuhan itu diukur dari nilainya pada 2021 yang mencapai 5,17 miliar dolar AS. Kemudian, Pemerintah juga memprediksi pertumbuhan penumpang udara di Indonesia mencapai 30 persen tahun ke tahun sehingga Indonesia diprediksi menjadi negara keenam dengan penumpang udara terbanyak dunia pada 2034.

Dari sektor militer, Kasau melanjutkan pemanfaatan teknologi mutakhir berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan jaringan terintegrasi (integrated network) pun menjadi game changer yang mengubah jenis pertempuran, dari yang konvensional ke modern.

“(Kemajuan itu) juga merupakan tantangan teknologi yang harus kita kuasai agar tidak tertinggal,” kata Fadjar Prasetyo.

Dalam seminar yang sama, Direktur Utama PT Pasifik Satelit Nusantara Adi Rahman Adiwoso, yang mewakili sektor industri, memaparkan kemajuan teknologi antariksa saat ini dan langkah-langkah yang perlu ditempuh Indonesia agar menjadi space-fluent country pada 2045 atau tepat saat Indonesia berusia 100 tahun.

Adi menilai Indonesia harus punya kebijakan keantariksaan (space policy) yang jelas dan berkesinambungan setidaknya sampai 2045. Sasaran itu wajib diwujudkan demi menjamin Indonesia tidak tertinggal dalam penguasaan teknologi, pemanfaatan potensi ruang udara dan antariksa, serta antisipasi terhadap ancaman keamanan dan pertahanan.

Kemajuan teknologi kedirgantaraan dan antariksa berikut situasi geopolitik dan potensi ancaman yang muncul sebagaimana dipaparkan dalam Seminar Nasional Kedirgantaraan Tahun 2023 cukup menjadi alasan (raison d’etre) untuk merevitalisasi visi kedirgantaraan nasional yang masih “pasang surut”.


Usulan menghidupkan Depanri

Peneliti NASPCI Curie Maharani Savitri, dalam seminar yang sama, menilai revitalisasi konsepsi visi kedirgantaraan nasional dapat dimulai dari revitalisasi organisasi.

Dia menjelaskan revitalisasi organisasi memungkinkan koordinasi antarsektor berjalan efektif. “Mungkin ini saatnya bagi Indonesia untuk mempertimbangkan pendekatan menyeluruh pemerintah terhadap bidang kedirgantaraan, seperti halnya KKIP, Komite Kebijakan Industri Pertahanan di bidang pertahanan, di bidang dirgantara juga membutuhkan lembaga seperti Depanri,” kata Curie.

Dia menjelaskan lembaga semacam itu berguna untuk menjamin adanya visi jangka panjang dan upaya bersama untuk mencapai kepentingan strategis di bidang kedirgantaraan.

Peneliti NASPCI itu pun menyesalkan pembubaran Depanri, karena adanya Depanri dan Lapan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategis jangka panjang bidang kedirgantaraan.

“Namun, pembubaran Depanri ini dianggap sebagai sebuah kemunduran,” kata Curie.

Dia melanjutkan revitalisasi konsepsi visi kedirgantaraan nasional juga terkait tata kelola regulasi. Curie menilai Indonesia perlu menyatukan peraturan yang tercerai berai padahal semua itu masuk dalam payung kedirgantaraan, di antaranya undang-undang mengenai penerbangan (aviasi), undang-undang keantariksaan.

Dengan demikian, revitalisasi visi kedirgantaraan nasional pun menjadi keniscayaan yang patut dikaji dan dirumuskan bersama.

TNI AU memulai pembahasan tentang itu dalam seminar nasionalnya minggu ini, tetapi hasil dari seminar itu perlu diperbesar gaungnya sehingga para pembuat kebijakan tergerak untuk menindaklanjuti usulan dan analisis para praktisi serta para ahli menjadi kerangka visi kedirgantaraan yang dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman dan tantangan ke depan.