Jakarta (ANTARA) - Seminar Nasional Kerdigantaraan yang dihidupkan kembali oleh TNI Angkatan Udara di Jakarta, Selasa, mengirimkan satu pesan penting: Visi kedirgantaraan nasional butuh direvitalisasi.
Di tengah majunya teknologi kedirgantaraan, yang saat ini mulai menggunakan sistem nirawak dan kecerdasan buatan, potensi ekonomi dan ancaman keamanan wilayah udara dan antariksa juga berkembang. Namun, tanpa adanya visi kedirgantaraan yang tepat dan berkesinambungan, pemanfaatan atas potensi kedirgantaraan dan kemampuan mengantisipasi ancaman yang berkembang itu pun menjadi tercerai-berai.
Jika berkaca pada sejarah, Indonesia salah satu negara di Asia Tenggara yang cukup awal merumuskan visi kedirgantaraannya, terlihat dari terbentuknya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada 1963, yang merupakan tindak lanjut dari instruksi Presiden Ke-1 RI kepada Juanda (Ketua Dewan Penerbangan RI/Menteri Pertama RI) dan R. J. Salatun (Sekretaris Dewan Penerbangan RI).
Berbekal instruksi itu, keduanya pada 31 Mei 1962 membentuk Panitia Astronautika, yang kemudian berhasil meluncurkan dua roket seri Kartika berikut telemetrinya.
Lapan baru resmi terbentuk sekitar 1 tahun kemudian sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 236 Tahun 1963.
Dalam rentang waktu 30 tahun setelah Lapan terbentuk, Presiden Ke-2 RI lanjut membentuk Dewan Penerbangan dan Antariksa (Depanri), yang tugas utamanya antara lain merumuskan kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan, telekomunikasi, dan kepentingan nasional lainnya, kemudian memberi pertimbangan, pendapat dan saran kepada Presiden mengenai pengaturan dan pemanfaatan wilayah udara dan antariksa.