Palembang (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan Regional VII Sumatera Bagian Selatan fokus mengikis kesenjangan antara tingkat literasi dan inklusi keuangan di Sumatera Selatan bersinergi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait.
Kepala OJK Regional VII Sumbagsel Untung Nugroho di Palembang, Senin, mengatakan, berdasarkan survei terbaru indeks literasi di Sumsel mencapai 40 persen atau di atas angka rata-rata nasional 38 persen, sedangkan untuk inklusi keuangan mencapai 85 persen atau di atas angka rata-rata nasional 75 persen.
“Walau sudah di atas angka rata-rata nasional tapi ada gap yang cukup jauh antara tingkat literasi dan inklusi,” kata dia.
Kesenjangan yang cukup jauh, dimana indeks literasi jauh lebih rendah dibandingkan inklusi keuangan ini menunjukkan bahwa masyarakat di Sumsel sudah aktif tapi belum memahami karakteristik produk jasa keuangan.
“Inilah salah satu penyebab mudahnya masyarakat terjebak dalam investasi bodong hingga pinjaman online ilegal,” kata dia.
Untuk mengurangi gap antara literasi dan inklusi keuangan ini dibutuhkan sinergi antara berbagai pihak terkait, mulai dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD).
Hal ini berkaitan juga dengan Perpres No 114 Tahun 2020 mengenai target Peningkatan Indeks Literasi dan Inklusi Keuangan sebesar 50 persen dan 90 persen pada 2024.
“Artinya Sumsel jangan berpuas diri dulu, karena ada target yang lebih tinggi pada 2024,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing mengatakan persoalan pinjaman online ilegal ini terletak pada rendahnya tingkat literasi masyarakat terhadap produk jasa keuangan.
“Biasakan gunakan 2L, Legal dan Logis. Sediakan waktu hanya beberapa menit untuk mengecek, apakah pinjaman online ini sudah terdaftar (legal), dan harus juga berpikir logis, berapa bunga dan masa pengembaliannya,” kata dia dalam acara Media Briefing Satgas Waspada Investasi melalui aplikasi zoom, Senin.
Terkadang masyarakat mengabaikan dua aspek tersebut sehingga terjerat pada pinjaman online ilegal. Padahal, pinjaman online yang legal (terdaftar) itu saat ini hanya berjumlah 103 perusahaan.
Untuk menekan pinjaman online ilegal ini, pemerintah mendorong agar koperasi simpan pinjam kembali berkembang di masyarakat. Koperasi dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan uang pinjaman dengan cepat seperti yang dijanjikan pinjaman online.
“Kebutuhan itu biasanya tidak besar hanya Rp500 ribu hingga Rp2 juta, tapi karena terjerat pinjaman online ilegal jadi runyam. Apalagi sampai seluruh nomor kontak telepon dapat diakses, sehingga penagih dapat melakukan teror. Di sini malapetakanya,” kata dia.
Bukan hanya memperbaiki dari sisi hulu, pemerintah juga menata sisi hilir seperti menutup website pinjol ilegal hingga membuka akses pinjaman rendah bunga melalui program kredit melawan rentenir hingga Kredit Usaha Rakyat, kata dia.