Melarang jaring cantrang untuk pemulihan ekosistem laut
Sehingga nelayan nanti kembali akan mudah mendapatkan tangkapan tanpa perlu menggunakan jaring cantrang.
Jakarta (ANTARA) - Nelayan kecil yang mengandalkan perahu di bawah 10 GT, di pantai utara Jawa mengungkapkan semakin sulitnya mereka mencari ikan jika tidak menggunakan jaring cantrang, sejenis pukat hela yang dianggap merusak ekosistem perairan laut.
Kalau dipaksakan menggunakan alat tangkap lain maka bisa jadi mereka akan terus berhutang karena hasil yang didapat tidak sebanding dengan modal melaut, apalagi 95 persen nelayan kecil di Pantura menggantungkan modal melaut pada para tengkulak.
Sejak pelarangan cantrang, mereka selalu petak umpet untuk menggunakan cantrang. Saat berangkat melaut mereka menyembunyikan jaring cantrang di perahu mereka, kalau sudah di tengah laut siapa yang bisa mengawasi.
Nelayan mengaku, jika 30 tahun yang lalu mereka belum tergoda menggunakan cantrang karena saat itu ikan masih mudah di dapat, namun sepuluh tahun terakhir, tanpa cantrang dipastikan nelayan akan terus berhutang.
Salah satu sebab semakin menurunnya populasi ikan di Laut Jawa adalah terjadinya overfishing atau penangkapan ikan yang berlebihan sehingga mengganggu keseimbangan ekologi laut. Artinya kemampuan perairan laut untuk menghasilkan ikan masih lebih rendah dibanding ikan yang ditangkap nelayan sehingga makin lama jumlah stok ikan di perairan itu akan terus menyusut dan nelayan akan semakin sulit menangkap ikan.
Data dari Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut populasi ikan jenis pirages, seperti tongkol, tuna, cakalang, dan kembung mulai jarang ditemui nelayan di perairan Laut Jawa. Alasannya, tak lain karena Laut Jawa sudah overfishing atau kelebihan aktivitas penangkapan ikan.
Selain overfishing, kerusakan terumbu karang dan mangrove juga menjadi penyebab semakin sulit ikan untuk mencari tempat untuk bertelur, sehingga jumlah ikan yang diproduksi sebuah ekosistem menurun drastis.
Oleh karena itu upaya yang perlu dilakukan untuk memulihkan ekosistem perairan adalah, pertama, dengan mengurangi aktifitas penangkapan dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti cantrang dan sejenisnya yaitu apolo, dogol, grandong, dan lain lain. Kedua melakukan penanaman mangrove di sepanjang pesisir pantai serta ketiga membuat terumbu ikan buatan.
Penggunaan cantrang telah menguras stok cadangan ikan selama puluhan tahun, selain itu dalam operasinya cantrang juga terkadang menggaruk sampai ke dasar laut sehingga ikut bertanggungjawab atau kerusakan terumbu karang.
Di satu sisi, nelayan terdesak oleh urusan perut dan terpaksa menggunakan cantrang, namun di sisi lain ekosistem laut akan terus rusak semakin parah, bagaimana solusinya?
Sudah tepat
Kebijakan Pemerintah di awal tahun 2015 yang mengeluarkan peraturan pelarangan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) untuk mengurangi kerusakan laut sudah tepat.
Permen KP No.2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah digantikan oleh Permen KP No.71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, telah mampu menurunkan jumlah tangkapan ikan di Laut Jawa.
Namun, sayangnya upaya penggantian alat tangkap yang ramah lingkungan belum bisa berjalan lancar karena tidak semua nelayan cantrang telah menerima alat pengganti dari Pemerintah atau mampu mengganti dengan biaya sendiri.
Selain itu faktor kebiasaan nelayan yang belum siap dengan alat tangkap pengganti membuat mereka masih tetap saja kembali ke alat cantrang.
Sehingga walau sudah diberikan toleransi sampai akhir Desember 2016, ternyata pada awal 2017, tidak semua nelayan menyiapkan sejak lama jaring pengganti yang ramah lingkungan, sehingga cantrang masih menjadi andalan nelayan menangkap ikan.
Sebagian kecil yang sudah beralih ke jaring minipurchain untuk menangkap ikan teri, serta jaring purchain, dan gilnet karena juragan kapal mempunyai modal yang cukup. Tetapi sebagian besar belum bisa menanggalkan jaring cantrang.
Sebagian nelayan meminta Pemerintah tegas terhadap pelarangan cantrang dan sejenisnya, namun sebagian lagi khususnya di Pantura Jawa tetap menolak pelarangan itu karena dianggap sebagai salah satu alat tangkap utama yang efektif dalam menjaring ikan.
Kapal cantrang ukuran besar seperti 40 GT ke atas, biasanya belayar berbulan-bulan untuk mencari ikan di wilayah lain seperti Perairan Kepulauan Riau, Bangka, Sulawesi sampai Maluku. Dan tidak semua pemilik kapal beralih dari cantrang karena untuk memodifikasi kapal ukuran besar agar bisa menggunakan jenis jaring gilnet, contohnya, paling tidak butuh biaya 2-3 miliar rupiah.
Jumlah para pengguna cantrang yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia hingga posisi 2015 berjumlah sekitar 10.758 kapal, atau naik 100 persen jika dibandingkan posisi 2007 yang hanya mencapai 5.100 kapal. Mungkin tanpa ketegasan ada pelarangan jaring cantrang, bisa jadi sekarang jumlahnya sudah naik lagi.
Akhirnya diizinkan
Untuk memberikan solusi bagi mereka yang tidak bisa melakukan penggantian alat tangkap cantrang, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2019-2020 Edhy Prabowo mengesahkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020, yang mengizinkan kembali operasional kapal perikanan dengan alat penangkapan ikan (API) cantrang di Laut Natuna Utara, bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-NRI) 711.
Aturan itu mengizinkan kapal cantrang berbobot 10 sampai 30 GT bisa beroperasi di WPP 711 dan 712 yang dianggap masih kaya sumber daya perikanan.
Pada pasal 36 Permen KP tersebut, cantrang dikeluarkan dari kategori alat tangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Kemudian dijelaskan alat tangkap yang dikategorikan mengganggu dan merusak berlanjutan sumber daya ikan antara lain pair sein, lampara dasar, pukat hela dasar berpalang (beam trawl), pukat hela kembar berpapan (twin bottom otter trawl), pukat hela dasar dua kapal (bottom pair trawl), pukat hela pertengahan dua kapal (midwater pair trawl), perangkap ikan peloncat (aerial trap), dan muro ami (drive-in net).
Namun penerbitan Permen KP akhirnya dikritik sejumlah pihak, karena mencium gelagat aneh, soalnya yang diizinkan menggunakan cantrang adalah kapal-kapal pengusaha perikanan skala besar. Padahal mereka itu yang sebenarnya mempunyai modal untuk mengubah alat tangkapnya.
Selain itu Permen 59 juga mengabaikan temuan KKP sendiri soal kerugian cantrang yang dipublikasikan dalam dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018.
Dokumen itu menyebut cantrang dapat menyebabkan tiga hal, yaitu mendorong penangkapan ikan yang tidak efektif dan eksploitatif, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan, dan memicu konflik sosial-ekonomi nelayan di tingkat akar rumput.
Soal konflik itupun sejak dulu sudah terbukti, keberadaan cantrang telah memicu konflik antarnelayan. Sekarang dengan Permen 36 itu diprotes nelayan lokal di WPP 711, nelayan di Anambas dan Natuna.
Wilayah Laut Natuna Utara adalah wilayah yang memiliki karakteristik unik, di mana nelayan setempat mendominasi wilayah perairan pesisir. Sementara, kapal cantrang dari luar WPP 711 juga beroperasi di wilayah perairan yang sama yang berpotensi menimbulkan konflik dengan nelayan setempat
Aliansi Nelayan Natuna (Anna) secara tegas menolak rencana pemerintah untuk melegalkan penggunaan alat tangkap ikan cantrang di WPP 711, karena dapat merusak perairan dan menimbulkan kerugian bagi warga setempat.
Ketua Anna, Hendri dalam diskusi virtual, mengatakan, Laut Natuna dan Laut Natuna Utara merupakan kantong-kantong wilayah penangkapan ikan nelayan tradisional Natuna.
Areal tangkapan tradisional nelayan Natuna yang hanya bisa melaut sampai 12 mil saja nanti akan dikuasai oleh kapal-kapal cantrang.
Alat tangkap nelayan Natuna, Anambas dan Kijang berupa pancing ulur, pancing tonda dan bubu laut bisa ikut terseret jaring cantrang yang cara beroperasi ditarik menggunakan kapal. Ini akan memicu konflik antarnelayan.
Selain itu penggunaan cantrang dapat merusak perairan Natuna yang dominan terumbu karang.
Mengkaji
Banyak protes dari organisasi nelayan dan penggiat lingkungan membuat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada awal tahun 2021 menyatakan masih mengkaji pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas.
Pada akhir Januari 2021 Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan masih mengkaji peraturan pelaksanaan serta ingin mendapatkan masukan dari semua pihak terkait regulasi tersebut.
Kemudian pada kunjungan ke Batam 9 Maret 2021 Menteri KKP kembali menegaskan alat tangkap ikan harus ramah lingkungan demi menjaga sumberdaya perikanan, artinya menegaskan bahwa jaring cantrang tetap akan dilarang.
Penegasannya yang akan merevisi Permen 59/2020 ke arah pelarangan cantrang menjadi angin segar bagi pencita kelestarian lingkungan, apalagi pemberantasan kapal penangkap ikan ilegal beberapa tahun terakhir telah mampu meningkatkan ekspor perikanan Indonesia.
Berdasarkan data BPS Tahun 2020 total ekspor perikanan 5,2 miliar dolar Amerika Serikat atau naik hampir 44 persen dibanding ekspor produk perikanan Indonesia pada 2015 tercatat hanya 3,60 miliar dolar Amerika Serikat.
Upaya menjaga keberlangsungan biota kelautan selama lima tahun terakhir telah membuktikan bahwa hasil tangkapan nelayan terus membaik termasuk komoditi ekspor hasil perikanan sehingga tidak perlu ragu lagi untuk secara tegas melarang penggunaan cantrang dan sejenisnya.
Penghentian cantrang juga akan memberikan kesempatan karang-karang di dasar laut lebih berkembang tanpa takut terseret jaring. Semakin banyak terumbu karang di dasar laut akan semakin memberikan kesempatan bagi ikan untuk bertelur dan anak-anak ikan bisa berlindung, akhirnya potensi lestari ikan akan semakin besar.
Setahun terakhir ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga gencar mencanangkan rehabilitasi magrove yang didukung sejumlah Pemda sehingga semua berharap ekosistem laut dan pesisir akan semakin membaik. Salah satu fungsi magrove adalah sebagai tempat bertelur ikan, udang dan rajungan sehingga semakin banyak biota laut mampu bereproduksi dengan optimal.
Namun, sejalan pelarangan cantrang juga perlu upaya segera bagaimana menolong nelayan kecil yang selama ini sangat tergantung alat itu. Mereka perlu segera mendapatkan jaring pengganti yang ramah lingkungan dan sesuai dengan potensi perikanan yang ada di wilayah tangkapanya.
Atau bisa juga diberikan modal untuk mengelola tambak-tambak di pesisir pantai atau budi daya perikanan di pesisir pantai seperti bandeng, rumput laut atau kerang hijau.
Harus ditanamkan pengertian kepada nelayan bahwa pemulihan ekosistem laut dan pesisir pada akhirnya akan meningkatkan potensi lestari perairan sekitarnya sehingga nelayan nanti kembali akan mudah mendapatkan tangkapan tanpa perlu menggunakan jaring cantrang.
Kalau dipaksakan menggunakan alat tangkap lain maka bisa jadi mereka akan terus berhutang karena hasil yang didapat tidak sebanding dengan modal melaut, apalagi 95 persen nelayan kecil di Pantura menggantungkan modal melaut pada para tengkulak.
Sejak pelarangan cantrang, mereka selalu petak umpet untuk menggunakan cantrang. Saat berangkat melaut mereka menyembunyikan jaring cantrang di perahu mereka, kalau sudah di tengah laut siapa yang bisa mengawasi.
Nelayan mengaku, jika 30 tahun yang lalu mereka belum tergoda menggunakan cantrang karena saat itu ikan masih mudah di dapat, namun sepuluh tahun terakhir, tanpa cantrang dipastikan nelayan akan terus berhutang.
Salah satu sebab semakin menurunnya populasi ikan di Laut Jawa adalah terjadinya overfishing atau penangkapan ikan yang berlebihan sehingga mengganggu keseimbangan ekologi laut. Artinya kemampuan perairan laut untuk menghasilkan ikan masih lebih rendah dibanding ikan yang ditangkap nelayan sehingga makin lama jumlah stok ikan di perairan itu akan terus menyusut dan nelayan akan semakin sulit menangkap ikan.
Data dari Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut populasi ikan jenis pirages, seperti tongkol, tuna, cakalang, dan kembung mulai jarang ditemui nelayan di perairan Laut Jawa. Alasannya, tak lain karena Laut Jawa sudah overfishing atau kelebihan aktivitas penangkapan ikan.
Selain overfishing, kerusakan terumbu karang dan mangrove juga menjadi penyebab semakin sulit ikan untuk mencari tempat untuk bertelur, sehingga jumlah ikan yang diproduksi sebuah ekosistem menurun drastis.
Oleh karena itu upaya yang perlu dilakukan untuk memulihkan ekosistem perairan adalah, pertama, dengan mengurangi aktifitas penangkapan dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti cantrang dan sejenisnya yaitu apolo, dogol, grandong, dan lain lain. Kedua melakukan penanaman mangrove di sepanjang pesisir pantai serta ketiga membuat terumbu ikan buatan.
Penggunaan cantrang telah menguras stok cadangan ikan selama puluhan tahun, selain itu dalam operasinya cantrang juga terkadang menggaruk sampai ke dasar laut sehingga ikut bertanggungjawab atau kerusakan terumbu karang.
Di satu sisi, nelayan terdesak oleh urusan perut dan terpaksa menggunakan cantrang, namun di sisi lain ekosistem laut akan terus rusak semakin parah, bagaimana solusinya?
Sudah tepat
Kebijakan Pemerintah di awal tahun 2015 yang mengeluarkan peraturan pelarangan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) untuk mengurangi kerusakan laut sudah tepat.
Permen KP No.2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah digantikan oleh Permen KP No.71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, telah mampu menurunkan jumlah tangkapan ikan di Laut Jawa.
Namun, sayangnya upaya penggantian alat tangkap yang ramah lingkungan belum bisa berjalan lancar karena tidak semua nelayan cantrang telah menerima alat pengganti dari Pemerintah atau mampu mengganti dengan biaya sendiri.
Selain itu faktor kebiasaan nelayan yang belum siap dengan alat tangkap pengganti membuat mereka masih tetap saja kembali ke alat cantrang.
Sehingga walau sudah diberikan toleransi sampai akhir Desember 2016, ternyata pada awal 2017, tidak semua nelayan menyiapkan sejak lama jaring pengganti yang ramah lingkungan, sehingga cantrang masih menjadi andalan nelayan menangkap ikan.
Sebagian kecil yang sudah beralih ke jaring minipurchain untuk menangkap ikan teri, serta jaring purchain, dan gilnet karena juragan kapal mempunyai modal yang cukup. Tetapi sebagian besar belum bisa menanggalkan jaring cantrang.
Sebagian nelayan meminta Pemerintah tegas terhadap pelarangan cantrang dan sejenisnya, namun sebagian lagi khususnya di Pantura Jawa tetap menolak pelarangan itu karena dianggap sebagai salah satu alat tangkap utama yang efektif dalam menjaring ikan.
Kapal cantrang ukuran besar seperti 40 GT ke atas, biasanya belayar berbulan-bulan untuk mencari ikan di wilayah lain seperti Perairan Kepulauan Riau, Bangka, Sulawesi sampai Maluku. Dan tidak semua pemilik kapal beralih dari cantrang karena untuk memodifikasi kapal ukuran besar agar bisa menggunakan jenis jaring gilnet, contohnya, paling tidak butuh biaya 2-3 miliar rupiah.
Jumlah para pengguna cantrang yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia hingga posisi 2015 berjumlah sekitar 10.758 kapal, atau naik 100 persen jika dibandingkan posisi 2007 yang hanya mencapai 5.100 kapal. Mungkin tanpa ketegasan ada pelarangan jaring cantrang, bisa jadi sekarang jumlahnya sudah naik lagi.
Akhirnya diizinkan
Untuk memberikan solusi bagi mereka yang tidak bisa melakukan penggantian alat tangkap cantrang, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2019-2020 Edhy Prabowo mengesahkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020, yang mengizinkan kembali operasional kapal perikanan dengan alat penangkapan ikan (API) cantrang di Laut Natuna Utara, bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-NRI) 711.
Aturan itu mengizinkan kapal cantrang berbobot 10 sampai 30 GT bisa beroperasi di WPP 711 dan 712 yang dianggap masih kaya sumber daya perikanan.
Pada pasal 36 Permen KP tersebut, cantrang dikeluarkan dari kategori alat tangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Kemudian dijelaskan alat tangkap yang dikategorikan mengganggu dan merusak berlanjutan sumber daya ikan antara lain pair sein, lampara dasar, pukat hela dasar berpalang (beam trawl), pukat hela kembar berpapan (twin bottom otter trawl), pukat hela dasar dua kapal (bottom pair trawl), pukat hela pertengahan dua kapal (midwater pair trawl), perangkap ikan peloncat (aerial trap), dan muro ami (drive-in net).
Namun penerbitan Permen KP akhirnya dikritik sejumlah pihak, karena mencium gelagat aneh, soalnya yang diizinkan menggunakan cantrang adalah kapal-kapal pengusaha perikanan skala besar. Padahal mereka itu yang sebenarnya mempunyai modal untuk mengubah alat tangkapnya.
Selain itu Permen 59 juga mengabaikan temuan KKP sendiri soal kerugian cantrang yang dipublikasikan dalam dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018.
Dokumen itu menyebut cantrang dapat menyebabkan tiga hal, yaitu mendorong penangkapan ikan yang tidak efektif dan eksploitatif, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan, dan memicu konflik sosial-ekonomi nelayan di tingkat akar rumput.
Soal konflik itupun sejak dulu sudah terbukti, keberadaan cantrang telah memicu konflik antarnelayan. Sekarang dengan Permen 36 itu diprotes nelayan lokal di WPP 711, nelayan di Anambas dan Natuna.
Wilayah Laut Natuna Utara adalah wilayah yang memiliki karakteristik unik, di mana nelayan setempat mendominasi wilayah perairan pesisir. Sementara, kapal cantrang dari luar WPP 711 juga beroperasi di wilayah perairan yang sama yang berpotensi menimbulkan konflik dengan nelayan setempat
Aliansi Nelayan Natuna (Anna) secara tegas menolak rencana pemerintah untuk melegalkan penggunaan alat tangkap ikan cantrang di WPP 711, karena dapat merusak perairan dan menimbulkan kerugian bagi warga setempat.
Ketua Anna, Hendri dalam diskusi virtual, mengatakan, Laut Natuna dan Laut Natuna Utara merupakan kantong-kantong wilayah penangkapan ikan nelayan tradisional Natuna.
Areal tangkapan tradisional nelayan Natuna yang hanya bisa melaut sampai 12 mil saja nanti akan dikuasai oleh kapal-kapal cantrang.
Alat tangkap nelayan Natuna, Anambas dan Kijang berupa pancing ulur, pancing tonda dan bubu laut bisa ikut terseret jaring cantrang yang cara beroperasi ditarik menggunakan kapal. Ini akan memicu konflik antarnelayan.
Selain itu penggunaan cantrang dapat merusak perairan Natuna yang dominan terumbu karang.
Mengkaji
Banyak protes dari organisasi nelayan dan penggiat lingkungan membuat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada awal tahun 2021 menyatakan masih mengkaji pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas.
Pada akhir Januari 2021 Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan masih mengkaji peraturan pelaksanaan serta ingin mendapatkan masukan dari semua pihak terkait regulasi tersebut.
Kemudian pada kunjungan ke Batam 9 Maret 2021 Menteri KKP kembali menegaskan alat tangkap ikan harus ramah lingkungan demi menjaga sumberdaya perikanan, artinya menegaskan bahwa jaring cantrang tetap akan dilarang.
Penegasannya yang akan merevisi Permen 59/2020 ke arah pelarangan cantrang menjadi angin segar bagi pencita kelestarian lingkungan, apalagi pemberantasan kapal penangkap ikan ilegal beberapa tahun terakhir telah mampu meningkatkan ekspor perikanan Indonesia.
Berdasarkan data BPS Tahun 2020 total ekspor perikanan 5,2 miliar dolar Amerika Serikat atau naik hampir 44 persen dibanding ekspor produk perikanan Indonesia pada 2015 tercatat hanya 3,60 miliar dolar Amerika Serikat.
Upaya menjaga keberlangsungan biota kelautan selama lima tahun terakhir telah membuktikan bahwa hasil tangkapan nelayan terus membaik termasuk komoditi ekspor hasil perikanan sehingga tidak perlu ragu lagi untuk secara tegas melarang penggunaan cantrang dan sejenisnya.
Penghentian cantrang juga akan memberikan kesempatan karang-karang di dasar laut lebih berkembang tanpa takut terseret jaring. Semakin banyak terumbu karang di dasar laut akan semakin memberikan kesempatan bagi ikan untuk bertelur dan anak-anak ikan bisa berlindung, akhirnya potensi lestari ikan akan semakin besar.
Setahun terakhir ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga gencar mencanangkan rehabilitasi magrove yang didukung sejumlah Pemda sehingga semua berharap ekosistem laut dan pesisir akan semakin membaik. Salah satu fungsi magrove adalah sebagai tempat bertelur ikan, udang dan rajungan sehingga semakin banyak biota laut mampu bereproduksi dengan optimal.
Namun, sejalan pelarangan cantrang juga perlu upaya segera bagaimana menolong nelayan kecil yang selama ini sangat tergantung alat itu. Mereka perlu segera mendapatkan jaring pengganti yang ramah lingkungan dan sesuai dengan potensi perikanan yang ada di wilayah tangkapanya.
Atau bisa juga diberikan modal untuk mengelola tambak-tambak di pesisir pantai atau budi daya perikanan di pesisir pantai seperti bandeng, rumput laut atau kerang hijau.
Harus ditanamkan pengertian kepada nelayan bahwa pemulihan ekosistem laut dan pesisir pada akhirnya akan meningkatkan potensi lestari perairan sekitarnya sehingga nelayan nanti kembali akan mudah mendapatkan tangkapan tanpa perlu menggunakan jaring cantrang.