Kader PDIP didakwa suap komisioner KPU Wahyu Setiawan senilai Rp600 juta

id wahyu setiawan,harun masiku,kpk,dakwaan,pdip,saeful bahri,agustiani tio

Kader PDIP didakwa suap komisioner KPU Wahyu Setiawan senilai Rp600 juta

Tersangka mantan Staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Saeful Bahri berjalan saat tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/2/2020). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama.)

....Terdakwa Saeful Bahri bersama-sama Harun Masiku yang belum tertangkap atau berstatus DPO memberi uang secara bertahap sejumlah 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura yang seluruhnya setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan....

Jakarta (ANTARA) - Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Saeful Bahri didakwa ikut menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta agar mengupayakan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI daerah Sumsel I kepada Harun Masiku.

"Terdakwa Saeful Bahri bersama-sama Harun Masiku yang belum tertangkap atau berstatus DPO memberi uang secara bertahap sejumlah 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura yang seluruhnya setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan selaku anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 bersama-sama dengan Agustiani Tio Fridelina," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ronald F Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Pengadilan berlangsung tanpa dihadiri terdakwa. Hanya ada majelis hakim, jaksa penuntut umum (JPU) KPK dan penasihat hukum sedangkan terdakwa Saeful Bahri mengikuti persidangan melalui "video conference" dari rumah tahanan KPK.

Tujuan pemberian suap adalah agar Wahyu Setiawan mengupayakan KPU menyetujui permohonan Penggantian Antar Waktu (PAW) Partai PDI Perjuangan (PDIP) dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) 1 kepada Harun Masiku.

Awalnya, DPP PDIP memberitahukan kepada KPU pada 11 April 2019 bahwa calon legislatif PDIP dapil Sumsel I atas nama Nazarudin Kiemas meninggal dunia namun nama yang bersangkutan masih tetap tercantum dalam surat suara pemilu.

Pada 21 Mei 2019, KPU melakukan rekapitulasi perolehan suara PDIP dapil Sumsel 1 dengan perolehan suara terbanyak oleh Riezky Aprilia sebanyak 44.402 suara. Di Dapil yang sama, Harun Masiku mendapat suara 5.878.

Namun pada Juli 2019 rapat pleno PDIP memutuskan Harun Masiku sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazaruddin Kiemas dengan alasan meski namanya sudah dicoret tapi Nazaruddin masih mendapat suara sejumlah 34.276.

"Atas keputusan rapat pleno DPP PDIP tersebut, Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDIP meminta Donny Tri Istiqomah selaku penasihat hukum PDIP untuk mengajukan surat permohonan ke KPU RI," tambah jaksa Ronald.

Harun Masiku lalu meminta Saeful agar Harun dapat menggantikan Riezky Aprilia dengan cara apapun yang kemudian disanggupi Saeful. DPP PDIP mengirimkan surat nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 kepada KPU RI pada 5 Agustus 2019 berisi permintaan Nazarudin Kiemas dialihkan suara sahnya kepada Harun Masiku.

"Selanjutnya masih pada bulan yang sama, Harun Masiku datang ke kantor KPU RI untuk menemui Arief Budiman selaku Ketua KPU RI. Dalam pertemuan itu Harun Masikku menyampaikan kepada Arief Budiman agar permohonan yang secara formal telah disampaikan oleh DPP PDIP melalui surat nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 kepada KPU RI tersebut dapat dikabulkan," tambah jaksa Ronald.

Namun KPU membalas surat DPP PDIP itu dengan menyatakan tidak dapat mengakomodir permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Karena KPU tidak mengabulkan permintaan PDIP, maka pada September 2019, Saeful menghubungi Agustiani Tio Fridelina untuk menyampaikan kepada anggota KPU Wahyu Setiawan agar mengupayakan persetujuan KPU mengganti Riezky menjadi Harun Masiku.

Agustiani lalu menyampaikan hal itu kepada Wahyu Setiawan. Saeful juga mengirimkan pesan whatsapp (WA) kepada Agustiani yang diteruskan ke Wahyu soal surat keputusan DPP PDIP dan Wahyu pun membalas dengan "Siap, mainkan".

Pada saat yang bersamaan, DPP PDIP juga meminta fatwa kepada Mahkamah Agung agar KPU bersedia melaksanakan permintaan DPP PDIP. Meski demikian pada pada 1 Oktober 2019 dilakukan pelantikan terhadap seluruh calon anggota DPR terpilih termasuk Riezky Aprilia.

Pada 5 Desember 2019, Saeful meminta Agustiani menanyakan kepada Wahyu mengenai besaran uang operasional agar KPU dapat menyetujui permintaan Harun Masiku.

"Dan menawarkan uang sejumlah Rp750 juta dengan kalimat kurang lebih 'Tanyain berapa biaya operasionalnya, kalau bisa 750'. Atas permintaan terdakwa tersebut, Agustiani menyampaikan kepada Wahyu Setiawan melalui pesan iMessage: 'Mas, ops nya 750 cukup mas?' dan dibalas oleh Wahyu Setiawan dengan pesan iMessage: '1000', yang maksudnya uang sebesar Rp1 miliar. Agustiani lalu menyampaikan permintaan Wahyu tersebut kepada terdakwa," ungkap jaksa Ronald.

Pada hari yang sama Agustiani mengirimkan surat DPP PDIP soal permohonan pelaksanaan fatwa MA kepada Wahyu dengan pesan "Bisa jd dasar utk menghitung kembali perolehan suara Sumsel 1 utk PDI Perjuangan? Atau KPU langsung memutuskan dgn dasar surat DPP saja?" atas pesan tersebut Wahyu membalas: "kita akan upayakan yang optimal".

Saeful bersama Donny Tri Istiqomah lalu menemui Harun Masiku di Restoran di Hotel Grand Hyatt Jakarta pada 13 Desember 2019 dan disepakati biaya operasional untuk Wahyu adalah sebesar Rp1,5 miliar dengan harapan Harun dapat dilantik sebagai anggota DPR pada Januari.

Uang diserahkan pada 17 Desember 2019 dari Harun Masiku kepada Saeful sebesar Rp400 juta. Selanjutnya ditukarkan menjadi 20 ribu dolar Singapura untuk diberikan kepada Wahyu sebagai "down payment". Uang diberikan melalui Agustiani sedangkan sisa uang dari Harun dibagi rata Saeful dan Donny masing-masing Rp100 juta.

"Atas penerimaan DP tersebut, Agustiani melaporkan kepada Wahyu Setiawan dan menyampaikan bahwa terdakwa Saeful akan bertemu dengan Wahyu Setiawan di Mall Pejaten Village," ungkap jaksa.

Saeful lalu bertemu Wahyu dan Agustiani di satu restoran di Mall Pejaten Village. Saeful kembali meminta Wahyu untuk membantunya dan dijawab "Iya saya upayakan". Selanjutnya Agustiani menyerahkan uang sejumlah 19 ribu dolar Singapura dengan mengatakan "Mas ini ada dana operasional". Wahyu hanya menerima 15 ribu dolar Singapura dan sisanya untuk Agustiani.

Pada 26 Desember 2019, Harun lalu meminta Saeful mengambil uang Rp850 juta dari Patrick Gerard Masako. Uang itu digunakan untuk operasional Saeful sejumlah Rp230 juta, untuk Donny Tri Istiqomah sebesar Rp170 juga dan kepada Agustiani Tio sejumlah Rp50 juta sedangkan sisanya Rp400 juta ditukarkan menjadi 38.350 dolar Singapura untuk DP kedua kepada Wahyu Setiawan.

Saeful menyerahkan 38.350 dolar Singapura kepada Agustiani pada hari yang sama. Lalu Agustiani melaporkan penerimaan uang kepada Wahyu dan Wahyu meminta agar uang tetap disimpan Agustiani.

Pada 6 Januari 2020, Wahyu Setiawan bersama dengan anggota KPU Hasyim Asyari bertemu dengan Agustiani Tio di kantor KPU. Dalam pertemuan itu dibahas mengenai prosedur atau mekanisme PAW Anggota DPR RI dari PDIP Riezly Aprlia digantikan Harun Masiku. Karena Riezky telah dilantik maka mekanisme penggantiannya harus melalui PAW yang diajukan pimpinan DPR kepada KPU, bukan diajukan DPP PDIP.

KPU lalu mengirim surat kepada DPP PDIP yang intinya menyatakan bahwa KPU tidak dapat memenuhi permohonan PAW atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku karena tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada 8 Januari 2020, Wahyu Setiawan menghubungi Agustiani agar mentransfer sebagian uang yang diterima dari Saeful yaitu sejumlah Rp50 juta ke rekening BNI atas nama Wahyu. Namun sebelum uang ditransfer, Agustiani dan Wahyu ditangkap petugas KPK dengan menyita 38.350 dolar Singapura.

Atas perbuatannya, Saeful didakwa Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal satu tahun penjara dan maksimal lima tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.