Mendorong penggunaan karet pada infrastruktur sekat kanal

id aspal,aspal karet,karet,berita sumsel,berita palembang,Dr Karyudi

Mendorong penggunaan karet pada infrastruktur sekat kanal

Perbaikan jalan di Muba (Foto Ist)

Palembang (ANTARA News Sumsel) - Kejadian kebakaran hutan dan lahan hebat pada 2015 membuat pemerintah dan instansi terkait mengedepankan langkah mitigasi dalam penanganan bencana, salah satunya memastikan adanya sekat kanal yang berfungsi mengatur tinggi muka air.

Terkait sekat kanal (canal blocking), pemerintah melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2017 menetapkan bahwa tinggi permukaan air tanah gambut harus mencapai maksimal 40 cm dari permukaan tanah untuk meminimalisasi potensi kebakaran hutan.

Selama ini, pembuatan sekat kanal menggunakan kayu sebagai bahan baku utamanya, kini Pusat Penelitian Karet telah menemukan materi bahan baku lain yakni karet alam melalui teknologi komposit.

Melalui teknologi ini, komposit karet alam ini memungkinkan untuk mendrainasekan kelebihan air saat musim hujan dan menahan air saat musim kemarau sehingga diperoleh kondisi keseimbangan.

Direktur Pusat Penelitian Karet Dr Karyudi di Palembang, Senin, mengatakan, penggunaan bahan karet alam ini sudah diujicobakan di tujuh titik di dua kabupaten Sumatera Selatan yakni Banyuasin dan Muaraenim.

Penelitian ini mendapatkan dukungan Bappenas melalui Satuan kerja Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang memanfaatkan dana hibah USAID dalam program Mitigasi Berbasis Lahan.

Direktur Pusat Penelitian Karet Dr Karyudi (kanan) didampingi Project Team Leader ICCTF-USAID Sudaryanto memberikan penjelasan mengenai penggunaan teknologi komposit karet alam pada kanal blocking. (ANTARA News Sumsel/Dolly Rosana)

Penelitian ini salah satunya dilakukan di Sungai Rengit Banyuasin sejak April 2017 bekerja sama dengan kelompok tani setempat dan petani peserta plasma PT Indralaya Agro Lestari.

"Bisa dikatakan penelitian ini berhasil. Tinggal lagi sosialisasinya ke kalangan perusahaan perkebunan untuk mau menggunakan teknologi berbasis komposit karet alam," kata Karyudi seusai kegiatan sosialisasi ke perusahaan dan instansi terkait mengenai hasil penelitiannya.

Penggunaan karet alam ini terbukti sangat efektif karena setiap satu meter sekat kanal hanya membutuhkan bahan baku 4 kg karet alam. Jika dihitung secara keseluruhan jauh lebih menguntungkan karena awet selama beberapa tahun.

Sementara sebaliknya, jika menggunakan kayu maka terdapat resiko lapuk mengingat air lahan gambut itu dikenal sangat asam, bahkan mampu menyebabkan korosit pada besi. "Tapi jika menggunakan karet, justru semakin bagus karena menyatu dengan alam," kata dia.

Penggunaan karet alam ini sangat sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan serapan dalam negeri mengingat saat ini harga karet di pasaran internasional sedang anjlok. Harga di tingkat petani hanya berkisar Rp8.000 per kg.

Terkait potensi penggunaan karet alam untuk sekat kanal ini, ia mengatakan sangat besar mengingat saat ini terdapat 14,9 juta hektare lahan gambut. Dari belasan hektare ini, sebanyak 5 persennya merupakan areal perkebunan.

Ia menambahkan, Pusat Penelitian Karet kemudian mendapatkan tugas dari pemerintah untuk meriset mengenai kemungkinan pemanfaatkan karet alam untuk proyek infrastruktur, selain untuk pintu air dan dok kapal.

Belum lama ini, Pusat Penelitian Karet telah menelurkan hasil riset berupa aspal karet yang sukses dalam uji coba di Lido, Jawa Barat.


"Untuk aspal karet rencananya akan diterapkan pada jalan sejauh 11 km di Sumatera Selatan. Tahun ini akan direalisasikan," kata dia.

Penggunaan karet alam dalam campuran aspal dipastikan lebih murah meski untuk investasi awal jauh lebih mahal sekitar 25 persen dari aspal biasa. Akan tetapi, jika dilihat daya tahannya maka mencapai 50 persen sehingga secara keseluruhan menjadi lebih murah.

Sejauh ini, lembaga yang berpusat di Bogor ini telah menelurkan dua hasil penelitian yakni aspal karet dan komposit karet alam pada kanal bloking.

Menurut Karyudi, dua teknologi itu sudah siap pakai pada tahun 2018 ini karena sudah memenuhi uji kelayakan di beberapa lokasi.

Sementara itu, jalan sepanjang 8,32 kilometer di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kota Lahat, Sumatera Selatan akan menggunakan aspal dengan campuran karet sebagai salah satu upaya pemerintah meningkatkan serapan karet dalam negeri.

Prioritas utama
Kepala Subdirektorat Standar dan Pedoman Direktorat Preservasi Ditjen Bina Marga Erwanto Wahyu Widayat mengatakan sejauh ini Provinsi Sumatera Selatan menjadi prioritas utama untuk penerapan aspal campuran karet alam karena menjadi salah satu daerah penghasil getah terbanyak di Indonesia.

Program yang menggunakan APBN Tahun Anggaran 2018 melalui Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum tersebut akan diterapkan di sejumlah jalan nasional Kabupaten Musi Rawas dan Kota Lahat.

"Kami membutuhkan sebanyak 21,7 ton karet alam cair (lateks) dalam pengerjaan aspal karet di dua kabupaten ini," kata dia.

Harga karet di pasaran ekspor anjlok sejak 2013 hingga kini belum merangkak naik ke harga ideal di atas Rp10.000 per kg.

Pekerja menampung hasil sadap getah karet di kawasan perkebunan karet Kabupaten Banyuasin, Sumsel. (ANTARA News Sumsel/Feny Selly/Ag/17)

Pemerintah telah berupaya untuk mengatasinya, salah satunya menggandeng negara-negara pengekspor karet seperti Thailand dan Malaysia untuk mengurangi pasokan ekspor.

Namun, upaya ini juga kurang efektif mengingat terdapat negara-negara lain yang juga mengekspor karet. Saat ini di pasaran internasional terdapat kelebihan pasokan 2,5 juta ton.

Untuk itu, pemerintah menilai, langkah paling efektif untuk mengatasi persoalan ini yakni meningkatkan serapan dalam negeri mengingat sejauh ini baru mencapai 18 persen dari total produksi 3,1 juta ton per tahun.

Surono, petani karet di Desa Sigam Kayal Sari, Kecamatan Gelumbang, Muaraenim, Sumsel, mengatakan sejak setahun terakhir ini ia telah mengalihfungsikan lahan karetnya seluas satu hektare menjadi kebun sayur.

"Awalnya dua hektare untuk karet semua, lalu satu hektare saya tebang untuk dijadikan kebun sayur. Lumayan untuk menyambung hidup," kata dia.

Surono, petani 47 tahun ini, mengaku tidak ada pilihan lain, karena satu hektare karet hanya menghasilkan keuntungan bersih Rp800.000 per bulan, sementara harga kebutuhan pokok terus meningkat.

Dengan menanam sayuran, seperti oyong dan cabai, Surono mampu mengumpulkan keuntungan bersih Rp3,5 juta setiap tiga pekan.

Senada, Kirom Djaenal, warga Desa Tambangan Kelekar mengatakan, jatuhnya harga karet ini sudah memasuki tahun kelima sehingga membuat ekonomi masyarakat di kampungnya menjadi terpuruk.

Sebagian besar warga banyak mengalihfungsikan lahannya dan sebagian lagi memilih membiarkannya atau tidak disadap getah karetnya.

"Ada juga yang rela ke kota untuk jadi buruh. Kami mengharapkan pemerintah segera mengatasi persoalan jatuhnya harga karet ini, kami tidak paham apa itu pasar ekspor yang jelas kami ingin harga karet setidaknya Rp10.000 per kg," kata dia.

Penurunan harga karet tak lain karena banjirnya stok di pasar global yang mencapai 2,5 juta ton.

Beragam upaya dilakukan pemerintah untuk mendongrak harga karet, di antaranya dengan mengajak negara-negara pengekspor untuk mengurangi pasokan pasar internasional namun juga belum membuahkan hasil.

Pemerintah kini fokus untuk meningkatkan penyerapan karet di dalam negeri dalam berbagai proyek infrastruktur, salah satunya adalah menggunakan karet sebagai bahan campuran pembuatan aspal dan komposit karet alam pada sekat kanal.

Serapan rendah
Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Alex K Eddy mengatakan hingga kini serapan dalam negeri masih sangat rendah meski pada 2016 meningkat 9 persen dari tahun sebelumnya dan pada tahun ini sudah mencapai 18 persen.

Sejauh ini serapan karet alam dalam negeri ini dapat digunakan untuk campuran aspal, bantalan rel kereta api dan pintu air, serta pembangunan pelabuhan.

"Jika memang akan digunakan untuk proyek jalan dan sekat kanal, kami sangat mendukung sekali," kata dia.

Harga karet alam tak kunjung terkerek naik meski tiga negara pengekspor karet terbesar di dunia yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC) yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand telah memutuskan akan melakukan pembatasan ekspor.

Hal ini karena, negara-negara lain yang tidak tergabung dalam ITRC seperti Kamboja, Vietnam dan Laos tetap melakukan ekspor seperti biasa sehingga pasar global kebanjiran pasokan sebesar 2,5 juta ton.

Ketika harga jatuh dibawah 2 dolar per kilogram, tentunya menjadi berat bagi petani rakyat di Indonesia mengingat dalam satu hektera hanya menghasilkan 150 kg hingga 200 kg, berbeda dengan petani di Malaysia dan negara-negara lain yang sudah menghasilkan sekitar 300 kg.

Ketidakberdayaan daerah dalam menyediakan industri hilir ditenggarai menjadi penyebab utama mengapa sektor perkebunan karet tidak bisa menjamin kesejahteraan petani.

Sumsel yang menjadi salah satu provinsi penghasil getah terbanyak di Indonesia, selain Sumatera Utara, dan Jambi tidak dapat berbuat apa-apa ketika terjadi penurunan permintaan dari luar negeri.

Kondisi tersebut makin diperparah iklim persaingan yang sedang berlangsung di pasar internasional. Produk olahan getah Sumsel mulai mendapatkan saingan baru, yakni dari Vietnam, Myanmar, dan Thailand dengan menawarkan produk berkualitas ekspor lebih baik.

Beragam cara sudah dilakukan untuk mendongkrak kenaikan harga karet, namun upaya itu belum membuahkan hasil.

Indonesia sebagai negara pengekspor perlu mengubah cara pandang yakni menyerap produksi untuk kebutuhan dalam negeri, seperti memanfaatkannya sebagai campuran aspal dan kanal bloking, sehingga bisa menjadi berkah bagi petani karet.

Selain itu yang tak kalah penting, Indonesia juga harus membangun sendiri industri berbahan baku karet (hilir), setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.