Jakarta (ANTARA) - Metode kolonoskopi merupakan salah satu langkah krusial untuk mendeteksi dini kanker kolon dengan cara memasukkan selang endoskopi melalui dubur guna memeriksa permukaan di dalam usus.
Melalui kolonoskopi, dokter dapat mengambil sampel atau biopsi dari massa kanker. Sampel itu kemudian diperiksa di laboratorium untuk mengetahui jenis kanker serta mutasi genetiknya.
"Kanker kolon merupakan kanker yang tumbuh di area usus besar. Ini tidak serta merta muncul melainkan berproses. Sebagian besar berasal dari polip yang kecil dan terus tumbuh mengalami mutasi genetik, hingga akhirnya pertumbuhan tumor tidak terkendali dan menjadi ganas," ujar dokter spesialis penyakit dalam RS Siloam MRCCC Semanggi dr Randy Adiwinata, Sp.PD, dalam siaran pers, Senin.
dr Randy menjelaskan, gejala kanker kolon umumnya meliputi perubahan pola dan konsistensi feses, buang air besar (BAB) berdarah, perasaan BAB tidak tuntas, anemia, penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, benjolan pada perut atau dubur, sumbatan usus, dan perut yang membesar.
Diagnosis dan kolonoskopi
dr Randy menekankan pentingnya membedakan gejala kanker kolon dengan kondisi lain, misalnya wasir.
Perdarahan akibat kanker usus besar biasanya ditandai dengan darah berwarna segar yang bercampur dengan feses, disertai penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, serta perubahan pola dan konsistensi feses.
Sementara itu, perdarahan akibat wasir umumnya tidak menimbulkan rasa nyeri, dengan darah yang tidak bercampur dengan feses, melainkan menetes setelah BAB, dan sering terjadi pada feses yang keras.
"Pada prinsipnya semua perdarahan pada kotoran merupakan alarm bahwa seorang pasien memerlukan evaluasi dari dokter. Seringkali pasien menganggap ini wasir. Setelah diperiksa lebih lanjut ternyata itu kanker usus besar stadium lanjut,” tutur dr Randy.
Diagnosis kanker kolon utamanya dilakukan melalui tindakan kolonoskopi. Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan selang endoskopi melalui dubur untuk memeriksa permukaan dalam usus.
Selain itu, dokter juga bisa menggunakan CT scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), bahkan Positron Emission Tomography (PET) scan untuk memeriksa lebih lanjut penyebaran kanker.
"American College of Gastroenterology merekomendasikan skrining kolonoskopi pada semua orang dengan atau tanpa gejala pada usia 45 tahun," jelas dr Randy, seraya menambahkan, "untuk mendeteksi kemungkinan polip usus sehingga kanker usus bisa dicegah."
"Cara lain adalah melakukan pemeriksaan darah samar pada feses. Apabila ditemukan darah, kolonoskopi tetap perlu dilakukan," papar dr Randy.

Ia menjelaskan, saat ini terapi kanker kolon sudah berkembang sangat pesat di mana para dokter bisa menerapkan terapi yang lebih tepat melalui pemeriksaan mutasi genetik dan pemeriksaan biomarker.
Pada kanker kolon stadium awal, terapi pembedahan umumnya menjadi pilihan. Tujuannya untuk mengangkat seluruh kanker usus besar. Sedangkan pengobatan lanjutan dengan kemoterapi tergantung pada tingkat stadium kanker.
Pada beberapa kasus, kemoterapi dilakukan lebih dulu untuk mengecilkan kanker agar pembedahan bisa dilakukan. Radiasi juga bisa menjadi tambahan pengobatan.
"Penanganan kanker kolon di RS Siloam MRCCC Semanggi dilakukan secara multidisiplin. Kami melakukan multidisciplinary team meeting, mendiskusikan rencana tindak lanjut baik diagnostik maupun terapi. Tim terdiri dari ahli yang berpengalaman di bidangnya," kata dia.
"Ada konsultan onkologi, konsultan gastroenterologi, tim radioterapi, spesialis bedah, spesialis gizi, spesialis radiologi yang saling menunjang satu sama lain untuk merawat pasien kanker kolon. Selain itu, terdapat perawat ahli luka untuk stoma dan juga unit paliatif untuk para pasien kanker kolon stadium lanjut,” jelas dokter Randy
Adapun alat diagnostik yang dimiliki RS Siloam MRCCC Semanggi meliputi pemeriksaan CT scan, MRI, hingga PET scan untuk diagnosis lebih akurat. Tersedia pula pemeriksaan biomarker atau mutasi genetik untuk menentukan pilihan apakah immunotherapy atau targeted therapy yang cocok untuk pasien.