Menyelamatkan gabah petani untuk kekuatan pangan nasional

id Perum Bulog,impor pangan,cadangan beras,produsen beras,krisis pangan,peran bulog,impor beras,ketahanan pangan

Menyelamatkan gabah petani untuk kekuatan pangan nasional

Arsip - Petani menabur pupuk pada tanaman padi di Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumat (19/7/2024). (ANTARA FOTO/Khalis Surry)

Jakarta (ANTARA) - Musim panen adalah momentum yang ditunggu para petani, tetapi juga menjadi periode penuh tantangan. Salah satu persoalan klasik yang selalu muncul adalah anjloknya harga gabah akibat pasokan melimpah.

Dalam kondisi seperti ini, petani sering kali berada di posisi lemah karena harga jual tidak mampu menutupi biaya produksi.

Tanpa intervensi strategis, masalah ini tidak hanya merugikan petani, tetapi juga berpotensi melemahkan ketahanan pangan nasional dalam jangka panjang.

Pemerintah, dalam upaya melindungi petani, telah menugaskan Perum Bulog sebagai “offtaker” untuk membeli gabah petani pada saat panen raya.

Penugasan ini bertujuan untuk memastikan harga gabah tetap stabil dan menguntungkan petani. Dengan harga dasar yang ditetapkan, diharapkan petani tidak perlu khawatir hasil panennya dijual dengan harga rendah.

Sejarah mencatat, Bulog pertama kali dibentuk berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/U/KEP/5/1967 tanggal 10 Mei 1967 dengan nama Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) Bulog.

Tujuan pokok yang ingin dicapainya adalah untuk mengamankan penyediaan pangan dan stabilisasi harga dalam rangka menegakkan eksistensi Pemerintahan Orde Baru.

Namun, untuk saat ini peran Bulog sebagai operator pangan nasional bukanlah tugas yang sederhana. Bulog harus memastikan penyerapan gabah berjalan lancar, mulai dari tingkat petani hingga proses distribusi ke pasar.

Dalam pelaksanaannya, memang terbukti tidak gampang. Mulai pengadaan beras yang cukup sulit untuk dipenuhi, mengingat terjadinya "darurat beras" secara nasional, ternyata di sisi lain, Perum Bulog pun diberi penugasan untuk melaksanakan impor beras.

Dalam situasi di ambang krisis pangan saat ini, mendatangkan beras dari luar negeri, terasa lebih sulit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sebab lebih banyak negara produsen beras yang berupaya mengamankan kebutuhan domestik terlebih dahulu ketimbang mengimpornya.

Apalagi, kunci keberhasilan penyelamatan gabah petani terletak pada mekanisme penyerapan yang efektif.

Dalam praktiknya, masih sering ditemukan kendala teknis seperti keterlambatan pembelian, kapasitas penyimpanan yang terbatas, hingga fluktuasi harga yang tidak terkontrol.

Maka Bulog harus mengoptimalkan infrastruktur yang ada, seperti gudang penyimpanan dan fasilitas pengeringan, agar dapat menyerap gabah dalam jumlah besar tanpa mengorbankan kualitas.

Selain itu, Bulog juga perlu menjalin kemitraan dengan koperasi petani untuk memperkuat rantai pasok di tingkat lokal.

Peran Bulog juga mencakup menjaga keseimbangan antara fungsi sosial dan fungsi bisnisnya.

Sebagai operator pangan, Bulog bertanggung jawab untuk menjalankan program pemerintah yang berorientasi pada kesejahteraan petani dan masyarakat umum.

Namun, di sisi lain, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bulog juga dituntut untuk menghasilkan keuntungan.

Keseimbangan ini sering kali menjadi tantangan, terutama ketika tugas-tugas sosial, seperti penyaluran beras bantuan, mendominasi peran bisnis Bulog.

Di luar peran Bulog, upaya penyelamatan gabah petani juga membutuhkan kolaborasi yang lebih luas.

Diangkatnya Wahyu Suparyono menjadi Direktur Utama Perum Bulog menggantikan Bayu Krisnamurthi, diharapkan dapat membawa angin segar bagi perjalanan dan perkembangan Perum Bulog ke depan.

Banyak pihak menunggu kiprah Perum Bulog yang mampu menyeimbangkan peran bisnis dan peran "social responsibility"-nya.