Menkes prediksi kasus COVID-19 turun pada Februari 2024
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI memperkirakan tren peningkatan kasus COVID-19 di tanah air yang terjadi jelang Natal dan tahun baru, mulai kembali menurun pada Februari 2024.
"Biasa kita tunggu peak-nya, harusnya Februari 2024 sudah turun kembali," kata Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers Kesiapsiagaan Sektor Kesehatan Menghadapi Masa Libur Natal dan Tahun Baru, diikuti dalam jaringan (daring) di Jakarta, Jumat.
Perkiraan penurunan laju kasus COVID-19 itu disampaikan Budi berdasarkan dominasi subvarian Omicron JN.1 yang kini sedang melanda Indonesia dan negara-negara tetangga.
Budi mengatakan varian COVID-19 terbaru yang dijuluki JN.1 adalah salah satu bentuk mutasi COVID-19 yang dikenal cukup cepat dalam penyebarannya, tapi tidak memicu lonjakan kematian maupun jumlah pasien di rumah sakit. Seperti jenis virus lain yang beredar, penyakit ini merupakan turunan dari Omicron yang lebih menular dibandingkan beberapa bentuk COVID-19 lainnya.
Berdasarkan penelusuran genom sekuensing dari 77 sampel yang diperiksa di laboratorium pemerintah, kata Budi, sebanyak 43 persen di antaranya adalah JN.1, XBB.1.16 sebanyak 16 persen, dan 12 persen adalah XBB.1.1.
"Kalau prediksi peak-nya kita lihat, karena 43 persen itu naik dari 19 persen dari pekan pertama Desember. Kenaikannya besar, artinya dia mendominasi varian yang ada," katanya.
Berdasarkan pengalaman selama tiga tahun pandemi COVID-19 melanda Indonesia, kata Budi, puncak kenaikan kasus akan terlihat saat varian yang mendominasi mencapai 80 persen kasus dari yang ada.
"Kita lihat dari 19 ke 43 itu naiknya hampir 20 persen lebih. Kalau kita hitung 20 persen lagi pekan depan, pekan depannya lagi 60 persen, sudah 80, jadi harusnya di Januari itu puncaknya sudah dicapai," katanya.
Meski JN.1 bukanlah subvarian yang berisiko memicu kematian, kata Budi, tapi Kemenkes memperoleh laporan terdapat 27 jiwa pasien terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia yang meninggal dunia selama periode dominasi JN.1.
"Tapi mereka ada komorbidnya, begitu masuk rumah sakit ada stroke, jantung, tapi begitu dites positif COVID-19. Jadi nggak semua meninggalnya gara-gara COVID-19, tapi penyakit lainnya," katanya.
"Biasa kita tunggu peak-nya, harusnya Februari 2024 sudah turun kembali," kata Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers Kesiapsiagaan Sektor Kesehatan Menghadapi Masa Libur Natal dan Tahun Baru, diikuti dalam jaringan (daring) di Jakarta, Jumat.
Perkiraan penurunan laju kasus COVID-19 itu disampaikan Budi berdasarkan dominasi subvarian Omicron JN.1 yang kini sedang melanda Indonesia dan negara-negara tetangga.
Budi mengatakan varian COVID-19 terbaru yang dijuluki JN.1 adalah salah satu bentuk mutasi COVID-19 yang dikenal cukup cepat dalam penyebarannya, tapi tidak memicu lonjakan kematian maupun jumlah pasien di rumah sakit. Seperti jenis virus lain yang beredar, penyakit ini merupakan turunan dari Omicron yang lebih menular dibandingkan beberapa bentuk COVID-19 lainnya.
Berdasarkan penelusuran genom sekuensing dari 77 sampel yang diperiksa di laboratorium pemerintah, kata Budi, sebanyak 43 persen di antaranya adalah JN.1, XBB.1.16 sebanyak 16 persen, dan 12 persen adalah XBB.1.1.
"Kalau prediksi peak-nya kita lihat, karena 43 persen itu naik dari 19 persen dari pekan pertama Desember. Kenaikannya besar, artinya dia mendominasi varian yang ada," katanya.
Berdasarkan pengalaman selama tiga tahun pandemi COVID-19 melanda Indonesia, kata Budi, puncak kenaikan kasus akan terlihat saat varian yang mendominasi mencapai 80 persen kasus dari yang ada.
"Kita lihat dari 19 ke 43 itu naiknya hampir 20 persen lebih. Kalau kita hitung 20 persen lagi pekan depan, pekan depannya lagi 60 persen, sudah 80, jadi harusnya di Januari itu puncaknya sudah dicapai," katanya.
Meski JN.1 bukanlah subvarian yang berisiko memicu kematian, kata Budi, tapi Kemenkes memperoleh laporan terdapat 27 jiwa pasien terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia yang meninggal dunia selama periode dominasi JN.1.
"Tapi mereka ada komorbidnya, begitu masuk rumah sakit ada stroke, jantung, tapi begitu dites positif COVID-19. Jadi nggak semua meninggalnya gara-gara COVID-19, tapi penyakit lainnya," katanya.