Jejak "Markas" Ulama-Santri dalam Pertempuran 10 November 1945
"Perlawanan udara itu dilakukan Kyai Abbas dengan berdoa hingga batu dan alu pun terbang bergemuruh menghantam pasukan sekutu, sehingga dapat menghadang pesawat hercules yang menyerang Arek-Arek Suroboyo," katanya.
Sementara itu, perlawanan darat di depan Stasiun Gubeng dan Jalan Pemuda yang dikomandani KH Hasyim Asy'ari justru mampu menewaskan Jenderal AWS Mallaby (komandan AFNEI Brigade 49/Divisi India ke-23) dengan lemparan granat pada 29 Oktober 1945 (almarhum KH Achiyat Chalimy/Mojokerto menyebut lemparan granat dilakukan santri/tokoh Tebuireng yang melintas tanpa kelihatan).
Perlawanan Arek-Arek Suroboyo yang bersemangat itu juga dipicu Resolusi Jihad di Bubutan VI/2 (Kantor NU), Surabaya, 22 Oktober 1945. Sebelum Resolusi Jihad dan tewasnya Jenderal Mallaby itu, insiden awal yang memicu "Pertempuran Surabaya" adalah insiden Bendera di Hotel Yamato, tanggal 19 September 1945, tapi pencetus perang besar adalah penyebaran pamflet kepada Arek-arek Surabaya tertanggal 9 November 1945, agar esok pagi menyerahkan senjata.
"Jurnal Studi Sosial" Th. 5, No. 2, November 2013 (FIS Universitas Negeri Malang), mencatat tiga hari pertama pertempuran, musuh dapat merebut garis pertahanan pertama republik yang mencapai sepertiga kota Surabaya. Pasukan sekutu selaku musuh yang memperkirakan dapat menguasai kota Surabaya dalam waktu yang singkat, ternyata sulit. Markas pertahanan terakhir di kota Surabaya (daerah Gunungsari), berhasil diserang musuh pada 28 November 1945, sehingga daerah pertahanan pindah ke luar kota Surabaya.
Tewasnya Jenderal AWS Mallaby yang membuat pihak tentara Inggris bersama Gurkha dan NICA-Belanda mengamuk pun "memaksa" markas ulama yang semula di Blauran akhirnya mundur ke Waru, namun perlawanan ulama dan santri dalam bentuk pertempuran kecil terus terjadi hingga awal Desember 1945 dan akhirnya terjadi gencatan senjata pada 14 Oktober 1946, serta persetujuan Linggajati pada 25 Maret 1947. Padahal, Inggris (Sekutu) adalah pemenang Perang Dunia II.
"Jadi, markas perjuangan ulama di Waru yang disebut Dimyati sebagai Markas Besar Oelama atau MBO itu bukan hanya penting untuk ulama dan santri, tapi juga penting bagi negara, karena tanpa ada perlawanan dari kita akan membuat proklamasi kemerdekaan tidak diakui," katanya.
Oleh karena itu, Djunaidi mengusulkan MBO itu diakui sebagai cagar budaya yang bernilai heroik luar biasa, karena MBO itu menjadi pusat koordinasi para ulama untuk mengatur strategi perang dan pusat penggemblengan laskar dan santri yang bertempur ke Surabaya.
Usulan "tetangga markas Waru" Djunaidi itu memungkinkan, karena "markas Waru-Sidoarjo" dalam catatan Rijal Mummaziq merupakan tindaklajut dari Markas Besar Oelama Djawa Timur (MBODT) yang pertama di Jalan Blauran Gang IV/25, Surabaya (rumah Kyai Yasin) dan menjadi perhatian Gus Dur, sehingga dinapaktilasi PWNU Jawa Timur dengan dua langkah yakni langkah "penyelamatan" (2019) dan langkah "renovasi/revitalisasi" (2023).
Langkah "penyelamatan" itu ditandai dengan kembalinya "markas" itu ke NU atas jasa Ketua PCNU Surabaya Prof. Dr. KH Asep Saifuddin Chalim yang membelinya atas "amanah" Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi (melanjutkan amanah Gus Dur). Kemudian, Kyai Asep mewakafkannya kepada NU/PBNU, sehingga MBO menjadi salah satu cagar budaya untuk mengenang jasa para pahlawan dan mewariskannya kepada generasi muda penerus perjuangan bangsa Indonesia.
Setelah terselamatkan dan diresmikan PWNU Jatim pada 16 November 2019, maka langkah renovasi dan revitalisasi dilakukan PWNU Jatim dengan membentuk Tim Renovasi dan Revitalisasi MBO sejak 10 Oktober 2023 dengan melibatkan kader-kader NU profesional untuk merenovasi secara arsitek tanpa mengubah keasliannya, serta merevitalisasi sebagai wahana edukasi sejarah dan pewarisan nasionalisme.
Sementara itu, perlawanan darat di depan Stasiun Gubeng dan Jalan Pemuda yang dikomandani KH Hasyim Asy'ari justru mampu menewaskan Jenderal AWS Mallaby (komandan AFNEI Brigade 49/Divisi India ke-23) dengan lemparan granat pada 29 Oktober 1945 (almarhum KH Achiyat Chalimy/Mojokerto menyebut lemparan granat dilakukan santri/tokoh Tebuireng yang melintas tanpa kelihatan).
Perlawanan Arek-Arek Suroboyo yang bersemangat itu juga dipicu Resolusi Jihad di Bubutan VI/2 (Kantor NU), Surabaya, 22 Oktober 1945. Sebelum Resolusi Jihad dan tewasnya Jenderal Mallaby itu, insiden awal yang memicu "Pertempuran Surabaya" adalah insiden Bendera di Hotel Yamato, tanggal 19 September 1945, tapi pencetus perang besar adalah penyebaran pamflet kepada Arek-arek Surabaya tertanggal 9 November 1945, agar esok pagi menyerahkan senjata.
"Jurnal Studi Sosial" Th. 5, No. 2, November 2013 (FIS Universitas Negeri Malang), mencatat tiga hari pertama pertempuran, musuh dapat merebut garis pertahanan pertama republik yang mencapai sepertiga kota Surabaya. Pasukan sekutu selaku musuh yang memperkirakan dapat menguasai kota Surabaya dalam waktu yang singkat, ternyata sulit. Markas pertahanan terakhir di kota Surabaya (daerah Gunungsari), berhasil diserang musuh pada 28 November 1945, sehingga daerah pertahanan pindah ke luar kota Surabaya.
Tewasnya Jenderal AWS Mallaby yang membuat pihak tentara Inggris bersama Gurkha dan NICA-Belanda mengamuk pun "memaksa" markas ulama yang semula di Blauran akhirnya mundur ke Waru, namun perlawanan ulama dan santri dalam bentuk pertempuran kecil terus terjadi hingga awal Desember 1945 dan akhirnya terjadi gencatan senjata pada 14 Oktober 1946, serta persetujuan Linggajati pada 25 Maret 1947. Padahal, Inggris (Sekutu) adalah pemenang Perang Dunia II.
"Jadi, markas perjuangan ulama di Waru yang disebut Dimyati sebagai Markas Besar Oelama atau MBO itu bukan hanya penting untuk ulama dan santri, tapi juga penting bagi negara, karena tanpa ada perlawanan dari kita akan membuat proklamasi kemerdekaan tidak diakui," katanya.
Oleh karena itu, Djunaidi mengusulkan MBO itu diakui sebagai cagar budaya yang bernilai heroik luar biasa, karena MBO itu menjadi pusat koordinasi para ulama untuk mengatur strategi perang dan pusat penggemblengan laskar dan santri yang bertempur ke Surabaya.
Usulan "tetangga markas Waru" Djunaidi itu memungkinkan, karena "markas Waru-Sidoarjo" dalam catatan Rijal Mummaziq merupakan tindaklajut dari Markas Besar Oelama Djawa Timur (MBODT) yang pertama di Jalan Blauran Gang IV/25, Surabaya (rumah Kyai Yasin) dan menjadi perhatian Gus Dur, sehingga dinapaktilasi PWNU Jawa Timur dengan dua langkah yakni langkah "penyelamatan" (2019) dan langkah "renovasi/revitalisasi" (2023).
Langkah "penyelamatan" itu ditandai dengan kembalinya "markas" itu ke NU atas jasa Ketua PCNU Surabaya Prof. Dr. KH Asep Saifuddin Chalim yang membelinya atas "amanah" Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi (melanjutkan amanah Gus Dur). Kemudian, Kyai Asep mewakafkannya kepada NU/PBNU, sehingga MBO menjadi salah satu cagar budaya untuk mengenang jasa para pahlawan dan mewariskannya kepada generasi muda penerus perjuangan bangsa Indonesia.
Setelah terselamatkan dan diresmikan PWNU Jatim pada 16 November 2019, maka langkah renovasi dan revitalisasi dilakukan PWNU Jatim dengan membentuk Tim Renovasi dan Revitalisasi MBO sejak 10 Oktober 2023 dengan melibatkan kader-kader NU profesional untuk merenovasi secara arsitek tanpa mengubah keasliannya, serta merevitalisasi sebagai wahana edukasi sejarah dan pewarisan nasionalisme.