Jejak "Markas" Ulama-Santri dalam Pertempuran 10 November 1945
Surabaya (ANTARA) - Diakui atau tidak, jejak dari heroisme para ulama dan santri terkait Pertempuran 10 November 1945 ada dalam naskah "Resolusi Jihad" yang diputuskan para ulama pada 22 Oktober 1945, dan akhirnya Pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015.
Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah memerintahkan kepada PWNU Jatim untuk melacak jejak "markas" perjuangan para ulama dan santri terkait Pertempuran 10 November 1945 secara lebih riil dalam bentuk bangunan bersejarah sebagai jejak konkret.
Dari "arahan" Gus Dur, pelacakan jejak sejarah itu pun dimulai dengan penelusuran "jejak" di Blauran dan Wonokromo (Surabaya). Pelacakan dalam kurun 2019 akhirnya menemukan dua "markas" yang didukung bukti dan saksi.
Dua "markas" perjuangan ulama-santri yang dimaksud adalah "markas" di Blauran Gang IV nomer 25 Surabaya, yang akhirnya bergeser karena Arek-Arek Suroboyo "dipukul" mundur oleh Sekutu hingga berpindah ke "markas" Waru (perbatasan Surabaya-Sidoarjo) dan terakhir ke Mojokerto, sedangkan jejak di Wonokromo yang disebut justru nihil.
Namun, jejak bangunan yang masih ada sisa bentuknya tinggal ada di belakang Pabrik Paku, Desa Kedungrejo, Waru, Sidoarjo, sedangkan "markas" yang diceritakan berada di Blauran itu sudah berbentuk bangunan baru dengan model bukan seperti "markas" yang asli.
Jadi, tinggal "markas" ulama-santri yang persis berada di Waru, Sidoarjo, atau tepatnya di belakang pabrik paku di dekat stasiun kereta api Waru, yang masih menyisakan bekas "markas" yang diyakini menjadi sentrum koordinasi ulama dan dan pusat penggemblengan Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah.
Hal itu dikuatkan oleh saksi sejarah bernama Djunaidi yang bermukim di Wedoro Utara RW 1/RW 2 Nomer 41, Wedoro, Waru, Sidoarjo, yang berjarak tidak jauh atau hanya sekitar 1 kilometer dari "markas" ulama-santri di Waru itu.
Tahun 2000-an, Djunaidi mengaku sudah sering ngobrol dengan Dimyati, anak pemilik gedung itu. "Jadi, jauh sebelum ada tim NU yang mengurus atau melacak sejarahnya," kata warga NU yang mengaku sering berkunjung ke rumah itu untuk berbincang-bincang dengan Dimyati.
Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah memerintahkan kepada PWNU Jatim untuk melacak jejak "markas" perjuangan para ulama dan santri terkait Pertempuran 10 November 1945 secara lebih riil dalam bentuk bangunan bersejarah sebagai jejak konkret.
Dari "arahan" Gus Dur, pelacakan jejak sejarah itu pun dimulai dengan penelusuran "jejak" di Blauran dan Wonokromo (Surabaya). Pelacakan dalam kurun 2019 akhirnya menemukan dua "markas" yang didukung bukti dan saksi.
Dua "markas" perjuangan ulama-santri yang dimaksud adalah "markas" di Blauran Gang IV nomer 25 Surabaya, yang akhirnya bergeser karena Arek-Arek Suroboyo "dipukul" mundur oleh Sekutu hingga berpindah ke "markas" Waru (perbatasan Surabaya-Sidoarjo) dan terakhir ke Mojokerto, sedangkan jejak di Wonokromo yang disebut justru nihil.
Namun, jejak bangunan yang masih ada sisa bentuknya tinggal ada di belakang Pabrik Paku, Desa Kedungrejo, Waru, Sidoarjo, sedangkan "markas" yang diceritakan berada di Blauran itu sudah berbentuk bangunan baru dengan model bukan seperti "markas" yang asli.
Jadi, tinggal "markas" ulama-santri yang persis berada di Waru, Sidoarjo, atau tepatnya di belakang pabrik paku di dekat stasiun kereta api Waru, yang masih menyisakan bekas "markas" yang diyakini menjadi sentrum koordinasi ulama dan dan pusat penggemblengan Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah.
Hal itu dikuatkan oleh saksi sejarah bernama Djunaidi yang bermukim di Wedoro Utara RW 1/RW 2 Nomer 41, Wedoro, Waru, Sidoarjo, yang berjarak tidak jauh atau hanya sekitar 1 kilometer dari "markas" ulama-santri di Waru itu.
Tahun 2000-an, Djunaidi mengaku sudah sering ngobrol dengan Dimyati, anak pemilik gedung itu. "Jadi, jauh sebelum ada tim NU yang mengurus atau melacak sejarahnya," kata warga NU yang mengaku sering berkunjung ke rumah itu untuk berbincang-bincang dengan Dimyati.