Jakarta (ANTARA) -
Elisna mengatakan tingginya angka kematian akibat kanker paru karena masyarakat sering kali datang berobat ketika sudah bergejala parah dan masuk stadium empat. Skrining dengan metode LDCT, kata Elisna, dapat lebih cepat mendeteksi kanker paru dibandingkan dengan foto toraks dan sputum (dahak).
LDCT, yang menggunakan komputer dengan sinar-X berdosis rendah, menghasilkan serangkaian gambar dan dapat membantu mendeteksi kelainan paru-paru, termasuk tumor. Metode LDCT sudah dilakukan uji klinis di Amerika Serikat dengan melibatkan lebih dari 50.000 peserta dan menunjukkan penurunan relatif 20 persen dalam kematian akibat kanker paru.Elisna mengatakan terdapat beberapa kriteria orang yang bisa menjalani skrining LDCT, yaitu usia 45 - 71 tahun, jenis kelamin diutamakan laki-laki dan memiliki riwayat kanker dari keluarga.
"Selain itu orang yang terkena paparan asap rokok, perokok aktif, bekas perokok kurang 15 taun, perokok pasif dan riwayat kanker dalam keluarga," kata Elisna menambahkan.
Secara singkat, pasien bisa melakukan konsultasi ke dokter paru sebelum melakukan LDCT, yang sudah ditanggung BPJS. Setelah mendapatkan hasil, pasien bisa kembali ke dokter untuk membaca hasil.
Jika nodul atau terdeteksi bibit kanker paru, dokter akan menjadwalkan konsultasi dan tindak lanjut LDCT tiap 2 tahun. Namun jika tidak, akan diberikan tindakan sesuai keadaan pasien.
Menurut Elisna, saat ini algoritma kecerdasan buatan dapat dilatih untuk mendeteksi dan menyoroti nodul atau lesi paru-paru dalam gambar medis. Mereka dapat membantu radiologis dalam mengidentifikasi pertumbuhan yang berpotensi kanker pada tahap awal.
Dia juga mengatakan, deteksi dini dapat memungkinkan para penyedia layanan kesehatan untuk menawarkan perawatan yang paling sesuai untuk pasien.