Jakarta (ANTARA) - Masalah keluarga, masalah keuangan dan kesepian termasuk faktor risiko orang melakukan bunuh diri, demikian diungkap hasil penelitian yang dilakukan Emotional Health for All Foundation (EHFA), Kementerian Kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Studi yang diklaim terbesar tentang bunuh diri di Indonesia itu menghadirkan lebih dari 100 jam wawancara mendalam untuk melakukan investigasi beragam aspek bunuh diri di Indonesia.
“Kami menganalisis data dari pemerintah, termasuk survei desa potensi, dan data kepolisian, dimana hasil dan rekomendasinya kami sampaikan pada kesempatan ini,” ujar Ketua EHFA Dr. Sandersan Onie melalui siaran persnya, Jumat.
Baca juga: Dokter sebut penggunaan pil kontrasepsi bantu regulasi suasana hati
Hasil temuan menunjukkan angka kejadian bunuh diri di Indonesia yang tidak dilaporkan diperkirakan lebih dari 300 persen, atau angka sesungguhnya bisa minimal empat kali lipat dari yang dilaporkan.
"Hal ini merupakan prosentase tertinggi dari jumlah kejadian yang dilaporkan secara nasional di dunia,” ungkap Sandersan.
Baca juga: Diet sehat bantu lawan depresi pada pria muda
Menurut studi, laporan yang tidak tercatat karena beragam alasan termasuk perbedaan standar dan sistem pencatatan bunuh diri di rumah sakit, serta banyak keluarga masih menyembunyikan kejadian bunuh diri akibat rasa malu dan stigma masyarakat.
Hasil riset juga menunjukkan provinsi dengan kejadian bunuh diri tertinggi yakni di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Maluku Utara dan Kepulauan Riau.
Sedangkan provinsi dengan tingkat upaya bunuh diri tertinggi ditemukan di Sulawesi Barat, Gorontalo, Bengkulu, Sulawesi Utara dan Kepulauan Riau.
“Untuk setiap kematian akibat bunuh diri, kemungkinan terdapat 8-24 kali upaya percobaan bunuh diri, dengan penyebab tertinggi diakibatkan oleh tekanan psikologis, penyakit kronis dan masalah keuangan,” ujar Sandersan.
Menurut studi, komunitas; akses ke perawatan psikologis; serta agama dapat menjadi faktor protektif yang dapat mencegah terjadinya bunuh diri.
Selain itu, kelompok-kelompok independen yang juga berperan dalam beberapa upaya pencegahan bunuh diri. Namun mayoritas upaya tersebut tidak maksimal, tidak terkoordinasi dan seringkali tidak didasarkan pada penelitian kontekstual yang baik.
Baca juga: Orang dengan kecemasan tinggi berisiko terkena penyakit kronis
Rekomendasi
Sandersan menyampaikan, sebagai upaya pengembangan program “Strategi Pencegahan Bunuh Diri Nasional” yang dimulai pada 2021 dan dilaksanakan secara kolaboratif antara Direktorat Kesehatan Jiwa dan Pengendalian NAPZA Kementerian Kesehatan, WHO Indonesia dan EHFA, tim Peneliti merekomendasikan sejumlah langkah rekomendasi.
Rekomendasi ini yakni perlunya kebijakan nasional melalui kerjasama dengan institusi terkait, pengentasan moralisasi bunuh diri dari sisi agama, peningkatan penelitian akademis secara terlatih dan sistemik.
Kemudian, pembentukan asosiasi lintas disiplin sebagai pengawasan upaya pencegahan bunuh diri, melakukan intervensi dengan pembatasan sarana bunuh diri, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan akademis tentang bunuh diri sebagai upaya pencegahan bunuh diri berdasarkan situasi, kondisi dan kearifan lokal setempat.
Tim Peneliti lalu merumuskan “Strategi Pencegahan Bunuh Diri Nasional” melalui dua langkah utama yaitu membentuk Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh Diri (Indonesian Association for Suicide Prevention - INASP) dan mengangkat tema bunuh diri sebagai stigma berbagai agama.
Menurut Sandersan, Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh Diri akan menjadi sarana membangun jaringan para pemangku kepentingan di seluruh Indonesia, sebagai badan perwakilan nasional untuk Pencegahan Bunuh Diri Indonesia di panggung internasional, dan sebagai pusat data tentang bunuh diri yang andal.
Asosiasi melalui laman Inasp.id menunjukkan data termasuk tingkat bunuh diri dan pencobaan bunuh diri setiap provinsi, dan data krusial lainnya yang belum pernah dibuka untuk umum.