Kala badak hiasi gunung-gunung di Jawa Barat

id badak,gunung jawa barat,TNUK Oleh Asep Firmansyah

Kala badak hiasi gunung-gunung di Jawa Barat

Badak jawa yang terekam kamera jebak Balai Taman Nasional Ujung Kulon. (ANTARA/HO-Balai Taman Nasional Ujung Kulon/KLHK)

Badak jawa terakhir yang hidup di Priangan ditemukan di wilayah Tasikmalaya. Satu-satunya badak jawa terakhir di Jawa Barat itu terpaksa ditembak mati pada sekitar 1934 untuk kepentingan penelitian. Kini jasadnya diawetkan dan menjadi koleksi di Muse

Jakarta (ANTARA) - 21 Oktober 1818, Gunung Guntur meletus. Letusan gunung yang berada di Kabupaten Garut itu menarik perhatian Caspar Georg Karl Reindwart, perintis Kebun Raya Bogor.

Sepekan sesudah letusan, Reinwardt memberanikan diri menapaki Gunung Guntur. Sayangnya, keberadaan sisa lahar panas dan material letusan memaksa penjelajahannya berakhir singkat.

Rasa penasaran yang mendiami Reinwardt, mendorongnya kembali mencoba menjelajahi Gunung Guntur setahun kemudian.

Kali ini ia merencanakan perjalanan yang lebih panjang sebelum mencapai Gunung Guntur. Reinwardt juga menyusuri sejumlah wilayah seperti Tjisondarie (Cisondari), Banjaran, Tjiparay (Ciparay), Manabaya, Tjimanganten (Cimanganten), hingga Limbangan.

Dari wilayah yang dia kunjungi, Reindwardt menapaki sejumlah gunung seperti Patuha, Tambak Ruyung, Tiloe (Gunung Tilu), Malabar, Sumbong, Gadjah, Talaga Bodas, hingga kembali ke Gunung Guntur.

Selain menemukan flora yang langka dan endemik, Reindwardt juga mendapati sejumlah hewan termasuk badak yang menghuni gunung-gunung yang pernah disinggahinya.

Cerita perjalanan Reinwardt yang diterbitkan Bataviasche Courant pada 25 September 1819 itu menjadi bukti bahwa badak jawa, hewan yang disebut Unicorn oleh penjelajah asal Italia Marco Polo itu sebenarnya pernah tersebar di sejumlah pegunungan Jawa Barat.


Baca juga: Populasi badak jawa dan elang jawa bertambah
Lebih dari dua ratus tahun berselang, kondisi itu tak lagi sama, sebab badak jawa kini hanya bisa ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).
Foto udara tutupan hutan di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Provinsi Banten. (ANTARA/Rizal Syamsoel)

Perburuan

Dalam buku Teknik Konservasi Badak Indonesia yang diterbitkan World Wild Fund for Nature (WWF-Indonesia) tercatat Badak Jawa sempat menempati wilayah yang cukup luas seperti Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam Semenanjung Malaysia, Sumatra, hingga Jawa.

Khusus di Pulau Jawa, pernah tercatat menempati daerah sekitar Gunung Gede, Pangrango, Pegunungan Sanggabuana, Salak, dan Ciremai, bahkan Gunung Slamet Jawa Tengah. Pertengahan abad ke-18, jumlah badak jawa sangat banyak. Bahkan kehadirannya dianggap sebagai hama karena merusak lahan perkebunan dan pertanian.

Pemerintah kolonial kemudian membuat sayembara bagi mereka yang mampu membunuh badak. Setiap badak yang mati akan dihadiahi sebesar 10 gulden.

Tulisan di koran De Locomotief yang terbit pada 19 September 1898 menceritakan perburuan badak bisa menghabiskan waktu selama berminggu-minggu. Pemburu yang lemah hendaknya mengurungkan diri dibanding "sok jagoan" berburu badak.

Foto udara Taman Nasional Ujung Kulon Banten. (ANTARA/HO-Balai Taman Nasional Ujung Kulon/KLHK)

Daerah hutan di Tjibitoeng (Cibitung), kaki Gunung Wayang, menjadi lokasi perburuan banteng, badak, rusa, harimau, dan sejumlah binatang liar lainnya. Masyarakat Sunda bisa mengejar badak di kedalaman hutan dan hidup dengan mengandalkan hasil hutan. Tak ada yang lebih menyenangkan bagi mereka hingga melihat badak buruannya mati.

"Pemburu profesional Sunda pergi keluar seperti ini selama satu atau dua bulan dan jarang kembali dengan tangan kosong, terutama di Tegal-padung, yang di sekitarnya penuh dengan hewan seperti itu," tulis koran tersebut.

Hal lainnya yang membuat pemburu senang saat melihat dua badak silih berkelahi. Badak saling menghujamkan cula pada tubuh lawannya. Meski kulit badak terkenal sangat tebal, tapi tandukannya bisa silih merobek.

"Pertarungan belum berakhir dalam satu atau dua jam, oh tidak! terkadang butuh satu hari penuh sebelum salah satu dari keduanya kabur. Aneh, kemudian dia (badak) tidak pernah menunjukkan dirinya kepada lawannya lagi dalam hidupnya. Dia pergi jauh, jauh sekali, dan memilih hutan lain," masih dalam tulisan koran De Locomotief.

Perburuan itu membuat populasi badak menurun drastis dan kehadirannya terus bergeser hingga ke wilayah paling barat Pulau Jawa. Kini tempat persembunyian badak jawa hanya bisa ditemui di Ujung Kulon saja.

Badak jawa terakhir yang hidup di Priangan ditemukan di wilayah Tasikmalaya. Satu-satunya badak jawa terakhir di Jawa Barat itu terpaksa ditembak mati pada sekitar 1934 untuk kepentingan penelitian. Kini jasadnya diawetkan dan menjadi koleksi di Museum Zoologi Bogor.

Mitos Cula

Cula badak diyakini sebagai obat mujarab untuk segala penyakit, bahkan orang-orang mencarinya sebagai obat kuat serta penetral racun. Anggapan ini semakin melambungkan harga cula badak hingga 20.000 dolar Amerika per kilogram di pasar gelap Asia (YMR, 1993). Padahal hasil penelitian menunjukkan tak ada kandungan istimewa dalam cula badak, apalagi untuk mengobati segala penyakit.

Komponen cula badak terdiri dari filamen dan substansi yang dihasilkannya tanpa inti sebagai komponen koaglutinasi rambut. Bagian pangkal cula diliputi kulit yang terdiri dari hiperkeratin. Dalam tubuhnya badak menghasilkan zat keratin yang berfungsi untuk pembentukan cula.

Baca juga: Guling-guling di kubangan dan status konservasi badak jawa
Guru Besar IPB University dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Harini Muntasib, mengatakan perburuan menjadi momok bagi keberadaan badak jawa. Selain dianggap hama, pemburu juga mencari culanya.

Badak yang pada mulanya dapat akrab dengan manusia, namun seiring masifnya perburuan akhirnya menjadi binatang yang cenderung menghindari manusia dan lebih senang hidup menyendiri.

Ancaman dari manusia membuat badak jawa kemudian bermigrasi ke hutan yang lebih dalam hingga akhirnya yang tersisa hanya di Ujung Kulon saja. Sejarah keberadaan badak di hutan-hutan jawa ditandai dengan penamaan badak sebagai penunjuk arah atau tempat.

Daerah badak jawa yang mati di wilayah Tasikmalaya kemudian dijadikan nama tempat yang kini dikenal sebagai Kampung Badak Paeh. Badak paeh dalam bahasa Sunda berarti badak mati.

Bagi masyarakat Kota Bandung barangkali tidak asing dengan Jalan Cibadak, Rumah Sakit Rancabadak (kini Rumah Sakit Hasan Sadikin), maupun patung badak putih berada di Taman Balai Kota Bandung.

"Semua yang ada nama Cibadak itu dulu ada badaknya. Catatan yang pernah saya petakan itu terjauh daerah Ngawen. Ngawen itu setelah cari ada daerah sekitar Klaten sana," kata Harini yang ditemui di sela-sela aktivitasnya di IPB University.

Anggapan tuah cula itu juga tertuang dalam tulisan di koran De Locomotief pada 19 September 1898. "Saya melihat seorang Sunda memegang cangkir yang dipotong darinya. Dia mengklaim bahwa racun apa pun dapat diberikan kepadanya tanpa efek berbahaya sedikit pun,".

Namun pada akhirnya perburuan cula badak bukan hanya dianggap sebagai obat tetapi menjadi koleksi sebagai penanda status sosial seseorang di masyarakat.

Barangkali berharap badak jawa kembali menghuni gunung-gunung di Jawa Barat adalah hal yang mustahil, namun Indonesia setidaknya masih berkesempatan untuk menghindari kesalahan yang terjadi di Vietnam. Pada 2010, seekor badak liar terakhir di Vietnam ditembak mati oleh pemburu. Badak tersebut diyakini sebagai subspesies badak Jawa terakhir di Asia daratan.

Kehadiran TNUK setidaknya memberikan kesempatan bagi segelintir Unicorn itu untuk tetap hidup, tumbuh, dan bertahan dari ancaman kepunahan, agar tak senasib dengan "saudara jauh" mereka di Vietnam sana.
Baca juga: Kelahiran dua anak badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon

Editor: Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2022