Jakarta (ANTARA) - Pemerintah perlu memikirkan untuk melakukan standardisasi kelas jalan di Indonesia sebelum memberlakukan kebijakan penerapan bebas kendaraan bermuatan lebih atau zero over dimension over load (ODOL), yang targetnya bisa terealisasi pada 1 Januari 2023.
Hal ini, kata Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Kalimantan Tengah Halind Ardi, di Jakarta, Rabu, karena persoalan ODOL biasanya selalu dimulai dari titik muat barang seperti di pelabuhan atau area industri atau pusat logistik lainnya.
Sebagai contoh, muatan yang dibawa dari Surabaya, Jatim, dengan menggunakan kapal roro, maka di pelabuhan pintu masuk (inlet) di Kalimantan Tengah harus dibongkar terlebih dahulu dan muatan dipindahkan ke truk lokal dengan sesuai ukuran dan kapasitas jalan.
"Ini saja sudah menjadi persoalan besar karena beban biaya angkut yang membengkak. Padahal, di tengah pandemi saat ini, untuk membayar upah karyawan saja, sangat sulit," kata Harlind.
Karena itu, ia menyarankan sebelum memberlakukan zero ODOL, perlu ada kesamaan komitmen antara pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas infrastruktur jalan dan jembatan terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang selama ini menjadi sentra produksi.
Standardisasi kelas jalan ini diperlukan agar pelaku usaha bisa mencari solusi tepat dalam penggunaan kategori truk yang digunakan.
Tujuannya agar implementasi zero ODOL tidak mubazir dan menjadi masalah baru akibat tarif angkutan yang mahal sehingga menurunkan daya saing produk.
Selama ini saja, kata Harlind, pelaku usaha harus menanggung biaya angkut yang tinggi akibat perbedaan kelas jalan di setiap provinsi.
Hal ini, karena kendaraan pengangkut yang dapat melintasi satu kawasan di setiap kelas jalan ditentukan berdasarkan ukuran, dimensi, muatan sumbu terberat, dan permintaan angkutan.
"Sementara itu, kenyataannya kelas jalan di setiap provinsi masih berbeda-beda," kata dia.
Sementara itu, Anggota Bidang Kebijakan Gapki Agung Utomo menilai jika zero ODOL tetap dipaksakan pada awal 2023, dipastikan hanya kurang dari 50 persen truk yang bisa beroperasi di jalan raya.
Hal ini bisa menghambat operasional truk angkutan minyak sawit dan turunannya. Hambatan itu terutama dalam hal perpanjangan izin keur truk yang tidak bisa diperpanjang lagi dan itu akan berimbas pada pembatasan operasional di lapangan, mulai dari denda tilang Rp500 ribu/truk hingga tidak boleh beroperasi.
Menurut Agung, penerapan zero ODOL pada 2023 berpotensi melumpuhkan angkutan di mana akan terjadi mogok angkutan minyak sawit dan turunannya untuk ekspor maupun domestik.
"Hambatan itu minimum berimbas pada total 48 ribu truk untuk kepentingan ekspor. Akibatnya, ekspor minyak sawit dan turunannya dipastikan akan terganggu, dan itu otomatis juga akan mengganggu pemasukan devisa negara dari sektor sawit ini," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meminta pemerintah untuk menunda pemberlakukan zero ODOL akibat kondisi dunia usaha saat ini sangat berat akibat pandemi.
Menurut dia, dalam masa transisi untuk menuju zero ODOL, pemerintah juga bisa menyiapkan insentif peremajaan dan pembelian truk baru bagi dunia.