SAKSI: Politik biaya tinggi penyebab korupsi kepala daerah

id kutai timur,korupsi,korupsi kepala daerah,politik biaya tinggi,dana pilkada,dana politik,uang politik,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel

SAKSI: Politik biaya tinggi penyebab korupsi kepala daerah

Dokumentasi Ketua DPRD Kutai Timur, Encek Unguria (kiri), usai diperiksa sebagai tersangka korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (3/7/2020). Ia adalah istri dari Bupati Kutai Timur, Ismunandar, yang menjadi tersangkat korupsi. KPK menahan dia, Ismunandar, Kepala Dinas PU Kutai Timur, Aswandini, Kepala Bapenda Kutai Timur, Musyaffa, Kepala BPKAD Kutai Timur, Suriansyah, serta Aditya Maharani dan Deky Aryanto, dengan barang bukti uang tunai Rp170 juta, buku tabungan dengan saldo Rp4,8 miliar, dan sertifikat deposito Rp1,2 miliar dalam kasus dugaan korupsi pengerjaan infrastruktur di lngkungan Pemkab Kutai Timur tahun 2019-2020. ANTARA FOTO/Indrianto Suwarso.

Balikpapan, Kalimantan Timur (ANTARA) - Sejumlah hal menjadi kesimpulan Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dari operasi tangkap tangan KPK atas dugaan korupsi kepala daerah, yaitu Bupati Kutai Timur, Ismunandar, dan sejumlah orang lain di Jakarta, Samarinda, dan Sangatta.

“Pertama, politik berbiaya tinggi itu mendorong kandidat, khususnya petahana, untuk menghalalkan segala cara,” kata Sekretaris SAKSI, Herdiansyah Hamzah, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu.

Menurut dia, politik biaya tinggi bukan satu-satunya faktor yang mendorong perilaku korup kepala daerah. Ada sejumlah faktor lain sesuai adagium niat dan kesempatan.
 

Hasil kajian lembaga Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, untuk menjadi wali kota/bupati dibutuhkan biaya mencapai Rp20-30 miliar dan untuk menjadi gubernur dalam kisaran Rp20-100 miliar. “Sehingga ongkos yang harus mereka keluarkan ini tentu saja tidak sepadan dengan gaji yang bakal diterima oleh seorang kepala daerah,” kata dia. 

Sebagai ilustrasi, Bupati Banjarnegara di Jawa Tengah, Budhi Sarwono, pada Oktober 2019 pernah mengungkap besaran gaji resmi yang dia terima dari negara saban bulan; bahkan foto slip gajinya beredar.

Di slip gaji Oktober 2019 itu, dia mendapat gaji resmi sebesar Rp6.114.100 yang masih dikurangi sejumlah potongan, di antaranya potongan zakat. Sebagai bupati dia berhak tunjangan operasional lapangan sebesar Rp1.000.000 sehari. Sementara gaji anggota DPRD Kabupaten Banjarnegara pada saat itu adalah Rp32.000.000 sebulan ditambah sejumlah uang tunjangan lain. 

Penyebab kedua kepala daerah korupsi, kata Hamzah, masih kuatnya politik transaksional dalam proses pengadaan barang dan jasa. Kepala daerah cenderung menggunakan pengaruhnya (trading in influence) untuk mengatur lalu lintas pemenang tender barang dan jasa, demi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Baca juga: Bawaslu: Modus politik uang berkembang setiap tahunnya
Baca juga: Bawaslu : Keberpihakan ASN mendominasi pelanggaran pilkada
Baca juga: Suko Widodo: Politik uang merusak mental masyarakat Indonesia


‘Tradisi macam ini jelas akan melanggengkan tindakan korup dalam pengadaan barang dan jasa,” kata dia.

Hal ketiga adalah politik dinasti. Dari tersangka lain yang turut diamankan adalah ketua DPRD Kutai Timur yang juga istri dari sang bupati Kutai Timur. Fakta itu, menurut kajian SAKSI, menandakan politik dinasti telah memberikan jalan yang lapang bagi perampokan keuangan negara.
 

“Politik dinasti telah melumpuhkan check and balances system antara pemerintah dan DPRD. Kendali pengawasan berada di tangan satu keluarga. Jadi mustahil akan ada kontrol yang kuat dan memadai di bawah kuasa politik dinasti,” kata dia.

Personel di tiga unsur Organisasi Perangkat Daerah dalam kasus OTT ini turut terlibat pada kasus Kutai Timur ini, yakni Badan Pendapatan Daerah, Badan Pengelola Keuangan Dan Aset Daerah, dan Dinas Pekerjaan Umum. Hal ini, menurut sinyalemen dia, menandakan OPD-OPD telah menjadi sapi perah kepala daerah.