Bengkulu (ANTARA) - Direktur Pusat Pendidikan untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu Susi Handayani menyebut, terjadi kenaikan angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di daerah itu selama pemberlakuan kebijakan Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah untuk mengantisipasi penularan COVID-19.
"Selama pemberlakuan WFH ini kami banyak menerima laporan dari korban KDRT. Kalau sebelumnya tidak sebanyak sekarang," kata Susi dalam keterangan di Bengkulu, Sabtu malam.
Ia menjelaskan, kebijakan WFH dan mulai banyaknya pekerja yang di PHK akibat pandemi COVID-19 membuat tingkat stres masyarakat meningkat.
Dalam keadaan kesulitan ekonomi dan perubahan situasi yang biasanya pria berada di luar rumah untuk bekerja dan tiba-tiba harus berdiam diri di rumah membuat suasana rumah tangga menjadi panas dan berujung pada KDRT.
Dari sekian banyak laporan yang diterima itu, kata Susi, ada dua kasus KDRT yang saat ini sedang didampingi Yayasan PUPA Bengkulu.
"Yang kita dampingi sekarang ada dua kasus KDRT. Dari dua kasus ini ada yang suaminya WFH dan ada yang di-PHK. Ada juga tiga kasus kekerasan seksual," papar Susi.
Selain itu, Susi mengaku pandemi COVID-19 juga memberikan dampak pada tidak maksimalnya pendampingan yang dilakukan PUPA terhadap para korban korban KDRT dan kekerasan seksual.
Sebab, sambungnya, pendampingan yang biasanya dilakukan dengan tatap muka sekarang terpaksa dilakukan dengan komunikasi jarak jauh.
"Derita yang ditanggung korban sekarang jadi lebih kompleks. Mereka tidak bisa menghindar untuk mencari tempat aman karena semua orang jaga jarak, tidak terima tamu. Harus ada ruang yang bisa untuk tempat mereka cari perlindungan," demikian Susi.
KDRT di Bengkulu dilaporkan meningkat, dampak WFH dan tingkat stress yang tinggi
Dalam keadaan kesulitan ekonomi dan perubahan situasi yang biasanya pria berada di luar rumah untuk bekerja dan tiba-tiba harus berdiam diri di rumah membuat suasana rumah tangga menjadi panas dan berujung pada KDRT