Peserta SMN asal Kalteng kunjungi pasar Baba Boencit dan Pulau Kemaro
Palembang (ANTARA) - Peserta Siswa Mengenal Nusantara asal Kalimantan Tengah mengunjungi Pulau Kemaro dan Pasar Baba Boencit untuk mempelajari sejarah dan kebudayaan etnis Tionghoa di Palembang.
Para peserta mengawali perjalanan pertama ke Pasar Baba Boencit di Kecamatan Kertapati, Selasa, mereka menyebrangi Sungai Musi dari Benteng Kuto Besak menuju kampung tersebut selama 20 menit.
Di Kampung Baba Boencit, para peserta mampir ke rumah Ong Boen Tjit yang sudah berusia 300 tahun lebih, rumah tersebut salah satu sisa peninggalan etnis Tionghoa yang menetap di Kota Palembang sejak abad ke 11.
"Luar biasa, rumah ini ternyata belum direnovasi sama sekali tapi bisa bertahan lama," kata salah seorang peserta SMN Kalteng, Muhammad Suhada.
Rumah Oeng Boen Tjit atau Baba Boencit, kata dia, memiliki gaya bangunan khas Tionghoa dengan ornamen naga dan dominasi warna merah yang kuat, hal itu membuat rumah tampak tetap megah meski sudah tua.
Selesai mengunjungi rumah Oeng Boen Tjit, para peserta yang berjumlah 33 orang kemudian menuju Pulau Kemaro menggunakan kapal dari PT Pelindo II Palembang.
Butuh waktu satu jam untuk peserta bisa sampai ke Pulau Kemaro karena tinggi muka air Sungai Musi sedang surut sehingga kapal tidak mampu bersandar ke pulau, padahal waktu tempuh biasanya hanya berkisar 20 menit.
Meski demikian antusias para peserta tidak berkurang, bahkan sesampainya di Pulau Kemaro sebagian peserta langsung memburu oleh-oleh berupa gelang, gantungan kunci dan baju yang dijual di Pulau Kemaro.
"Saya sudah pernah dengar kisah Pulau Kemaro dari buku cerita, setelah melihat bentuk aslinya ternyata memang indah, terutama Pagoda delapan tingkatnya," ujar salah seorang peserta, Faditra Jaya.
Faditra mengungkapkan legenda Pulau Kemaro menarik dipelajari karena berisi kisah jalinan antara etnis Tionghoa dan etnis Arab di Kota Palembang, ia juga kagum dengan 'Pohon Cinta' di Pulau Kemaro yang masih tumbuh selama ratusan tahun.
Pulau Kemaro merupakan destinasi wisata terkenal di Sungai Musi di mana terdapat sebuah Vihara China (klenteng Hok Tjing Rio) dan kuil yang sering dikunjungi umat Buddha untuk berdoa atau berziarah ke makam, pulau ini juga sering mengadakan ritual Cap Go Meh setiap Tahun Baru Imlek.
Para peserta mengawali perjalanan pertama ke Pasar Baba Boencit di Kecamatan Kertapati, Selasa, mereka menyebrangi Sungai Musi dari Benteng Kuto Besak menuju kampung tersebut selama 20 menit.
Di Kampung Baba Boencit, para peserta mampir ke rumah Ong Boen Tjit yang sudah berusia 300 tahun lebih, rumah tersebut salah satu sisa peninggalan etnis Tionghoa yang menetap di Kota Palembang sejak abad ke 11.
"Luar biasa, rumah ini ternyata belum direnovasi sama sekali tapi bisa bertahan lama," kata salah seorang peserta SMN Kalteng, Muhammad Suhada.
Rumah Oeng Boen Tjit atau Baba Boencit, kata dia, memiliki gaya bangunan khas Tionghoa dengan ornamen naga dan dominasi warna merah yang kuat, hal itu membuat rumah tampak tetap megah meski sudah tua.
Selesai mengunjungi rumah Oeng Boen Tjit, para peserta yang berjumlah 33 orang kemudian menuju Pulau Kemaro menggunakan kapal dari PT Pelindo II Palembang.
Butuh waktu satu jam untuk peserta bisa sampai ke Pulau Kemaro karena tinggi muka air Sungai Musi sedang surut sehingga kapal tidak mampu bersandar ke pulau, padahal waktu tempuh biasanya hanya berkisar 20 menit.
Meski demikian antusias para peserta tidak berkurang, bahkan sesampainya di Pulau Kemaro sebagian peserta langsung memburu oleh-oleh berupa gelang, gantungan kunci dan baju yang dijual di Pulau Kemaro.
"Saya sudah pernah dengar kisah Pulau Kemaro dari buku cerita, setelah melihat bentuk aslinya ternyata memang indah, terutama Pagoda delapan tingkatnya," ujar salah seorang peserta, Faditra Jaya.
Faditra mengungkapkan legenda Pulau Kemaro menarik dipelajari karena berisi kisah jalinan antara etnis Tionghoa dan etnis Arab di Kota Palembang, ia juga kagum dengan 'Pohon Cinta' di Pulau Kemaro yang masih tumbuh selama ratusan tahun.
Pulau Kemaro merupakan destinasi wisata terkenal di Sungai Musi di mana terdapat sebuah Vihara China (klenteng Hok Tjing Rio) dan kuil yang sering dikunjungi umat Buddha untuk berdoa atau berziarah ke makam, pulau ini juga sering mengadakan ritual Cap Go Meh setiap Tahun Baru Imlek.