Palembang (ANTARA) - Harga komoditas karet di Sumatera Selatan tidak kunjung membaik selama lima tahun terakhir meski beragam upaya sudah dilakukan pemerintah dan para pemangku kepentingan sejak harga komoditas tersebut mulai anjlok pada 2013.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumatera Selatan per 16 April 2019, harga karet kering 100 persen sebesar Rp18.708/kg, kadar kering 70 persen Rp13.096/kg, kering 60 persen Rp11.225/kg, kering 50 persen Rp9.345/kgm dan kering 40 persen Rp7.483/kg.
Artinya, harga karet di tingkat petani Sumsel berkisar Rp7.483/kg karena sebagian besar petani di daerah tersebut menghasilkan produk getah karet dengan kadar kering 40 persen.
Kepala Dusun III Desa Sigam Kayal Sari, Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muaraenim, Sumsel, Sahbihis mengatakan bahwa anjloknya harga karet dalam lima tahun terakhir telah mengubah kehidupan masyarakat perkebunan karet di desanya.
Sebagian besar pekebun karet tidak terlalu memperdulikan lahan karet mereka karena biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan. “Jangankan untuk peremajaan, pemupukan saja sudah bertahun-tahun tidak dilakukan petani,” kata Sahbihis.
Sejak harga jatuh karena dampak pelemahan ekonomi global, pendapatan pekebun karet menyusut drastis. Dalam satu hektare hanya mendapatkan Rp700.000-Rp800.000 per bulan, sementara sebagian besar petani di desa tersebut hanya memiliki 1-2 hektare lahan.
Walhasil, sebagian mulai meninggalkan kebun karetnya atau tidak lagi menyadap getah. Bahkan, beberapa petani memilih menebang pohon karetnya untuk diganti dengan tanaman lain seperti sayur mayur.
Keputusan ini juga dipengaruhi fakta bahwa sebagian besar kebun karet di desa tersebut sudah berusia di atas 25 tahun, yang artinya sudah saatnya untuk diremajakan karena produktivitas getah sudah menurun.
"Ada juga yang menjual total lahannya dengan harga murah hanya Rp30 juta per hektare, dan beralih pekerjaan, misal jadi buruh di kota, ya mungkin sudah tidak ada pilihan lain," kata dia.
Surono, pekebun karet di desa tersebut, mengatakan bahwa sejumlah petani karet saat ini mengalihkan sebagian kebun mereka menjadi kebun sayur, seperti yang dilakukannya.
Ia mengorbankan satu hektare kebun karetnya untuk ditanami sayur mayur seperti oyong dan cabai dengan modal awal Rp5 juta untuk membeli benih dan lainnya.
Dari panen oyong, Surono mendapatkan keuntungan bersih Rp3,5 juta satu kali panen dalam masa tiga pekan. Karena itu, ia dapat menyambung hidup di tengah jatuhnya harga karet ini.
Ketika ditanya, mengapa tidak memanfaatkan lahan yang ada untuk dijadikan kebun sayur mayur semua, Surono mengatakan karena dirinya masih optimistis harga karet akan membaik.
Pria paruh baya ini, mengatakan bahwa sebenarnya sangat sedih dengan keadaan ini karena sebelumnya sudah mengikuti anjuran pemerintah untuk menanam karet pada awal 1990-an. "Dulu pemerintah suruh kami tanam karet, eh sudah ditanam rupanya saat harga jatuh, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa," kata dia.
Persoalan kompleks
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Edy Sutopo mengatakan bahwa persoalan perkebunan karet di Indonesia sangat kompleks sehingga tidak bisa dipandang sepotong-sepotong.
Beberapa persoalan yang nyata seperti rendahnya kualitas, panjangnya mata rantai, dan persaingan pasar internasional, hingga kini belum dapat diselesaikan.
Apalagi, masuknya dua negara baru yakni Vietnam dan Kamboja selain Indonesia, Thailand dan Malaysia, kerja sama tiga negara (Indonesia, Thailand dan Malaysia) untuk mengurangi suplai pasar internasional menjadi sia-sia sejak beberapa tahun terakhir.
Namun, pemerintah tidak tinggal diam untuk mengatasi persoalan tingginya produksi dalam negeri sebesar 3,1 juta ton per tahun ini, meski langkah yang diambil diakuinya belum menyelesaikan inti persoalan.
Ia mengatakan saat ini pemerintah mendorong penyerapan karet di dalam negeri sendiri seperti untuk campuran pembuatan aspal yang sejauh ini sudah 12 persen kontennya.
Penggunaan karet pada campuran aspal untuk pembangunan jalan sepanjang 465 kilometer sudah dilakukan di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang mampu menyerap 8,49 ton karet alam produksi perkebunan rakyat pada 2019 atau meningkat jika dibandingkans sebelumnya yang hanya 1,2 ton per tahun.
"Meski serapannya masih kecil tapi ini demand baru. Ada suatu harapan," kata dia.
Anjloknya harga karet di tingkat petani sejak 2013 membuat ribuan petani di Sumatera Selatan menjerit karena harga hanya Rp6.000-Rp7.000 per kilogram jauh dari idealnya di atas Rp12.000 per kilogram.
Penurunan harga karet rakyat ini sangat tergantung pada pasar internasional karena sebagian besar bahan baku ini diekspor ke luar negeri.
Menurutnya, ada satu hal yang patut disimak terkait pasar internasional ini karena stok karet dunia 2,2 juta itu sebenarnya sudah sesuai dengan kebutuhan global.
Keadaan yang berlangsung lima tahun ini dipandang pemerintah agak aneh karena harga ban mobil (produk penyerap karet alam tertinggi) tetap stabil tinggi di tengah situasi jatuhnya harga bahan baku.
"Kondisi ini perlu diselesaikan secara diplomasi, sudah terkait isu internasional, ya mengapa sisi hulu marginnya tertekan dibandingkan sisi hilir," kata dia.
Sementara itu terkait persoalan yang tak kunjung usai ini, Gubernur Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan pemprov mengupayakan peningkatan kualitas getah karet petani dengan memberikan pelatihan sehingga harga dapat lebih baik seperti di Jambi dan Sumatera Utara.
Kemudian, pemprov memperbaiki tata niaga lelang karet petani dengan mengupayakan di setiap kabupaten ada sistem pelelangan karet. Saat ini sudah ada 177 Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) di 14 kabupaten/kota di Sumsel.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan Rudi Arpian mengatakan selama ini lelang hanya diikuti pengusaha-pengusaha tertentu saja sehingga pihak pemenang seperti diatur secara bergantian.
Untuk itu, Pemerintah Provinsi Sumsel membuka kran ke pengusaha-pengusaha lain untuk masuk dalam lelang karet ini sehingga harga di tingkat petani akan terkerek.
"Sistem lelang belum baik. Seharusnya lelang dilakukan secara besar-besaran dalam satu hari, dengan harga yang sama agar pembeli turun langsung ke petani. Ini yang kami dorong,” kata dia.
Selain itu, Gubernur Sumsel Herman Deru juga mengupayakan pembangunan pabrik ban mobil agar penyerapan dilakukan di dalam negeri sendiri.
Kehadiran pabrik ban ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk menyelamatkan hidup ribuan pekebun karet yang memanfaatkan 1,3 juta hektare lahan dengan produksi sekitar 1 juta ton per tahun di wilayah Sumsel.
Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) menilai keinginan pemerintah untuk membangun pabrik ban di sejumlah lokasi daerah penghasil getah karet itu terlalu dini karena Indonesia dinilai belum kuat di sektor hulu.
Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia A Aziz Pane di Palembang, Kamis, mengatakan, bagaimana mungkin membangun sektor hilir, yaitu pabrik ban, yang menguntungkan bagi pengusaha jika bahan utama kimia untuk membuat ban mobil itu malah sebagian besar harus diimpor dari luar negeri.
“Membuat ban itu sekitar 25 persen menggunakan getah karet alam, sisanya ya komponen impor semua, hampir 72 persennya. Saya pikir nanti dulu negara bicara pabrik ban, perkuat dulu hulunya,” kata Aziz dalam acara Diseminasi Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sumsel oleh Bank Indonesia dengan tema "Meningkatkan Penyerapan Karet Rakyat Melalui Hilirisasi Industri Karet Domestik".
Sektor hulu ini sangat penting karena bukan hanya terkait kepastian adanya bahan baku yang baik dan berkualitas tapi juga kepastian ketersediaan bahan-bahan penolong.
“Ini juga patut disayangkan, gas kita sudah dikirim ke Singapura. Tidak kita pakai sendiri. Artinya jika kita mau membangun industri kimia, harus impor lagi, ini jadi masalah lagi,” kata Aziz.
Menurut dia, hal ini berarti bahwa jika ada perusahaan swasta berminat membuat pabrik ban di Indonesia maka harus menyediakan industri kimianya, karena Indonesia belum mampu seperti China dan India yang memiliki dari hulu-hilir.
Menurut Aziz, kondisi inilah yang membuat investasi pembuatan pabrik ban di Tanah Air tidak pernah menarik bagi kalangan investor asing. Indonesia sebenarnya bukan tidak pernah memiliki pabrik ban sendiri, bahkan pada 1990-an ada beberapa perusahaan yang beroperasi di Sumatera dan Jawa. Namun, perusahaan-perusahaan ini beralih ke luar negeri setelah krisis moneter 1998.
Oleh karena itu, ia menilai, pemerintah yang harus turun tangan langsung jika ingin mewujudkan pabrik ban ini, yakni dengan membangun sektor hulu industri kimia.
Mengapa harus pemerintah, ia menjelaskan, karena untuk membangun industri hulu ini membutuhkan modal yang besar dan teknologi yang tinggi. Belum lagi tingkat pengembalian keuntungan yang baru didapatkan dalam hitungan puluhan tahun ke depan.
"Hemat kami, pemerintah yang melakukan sendiri, soal pabrik bannya itu pasti ada asal sudah ada hulunya," kata dia
Indonesia sudah sejak puluhan tahun dikenal sebagai negara pengekspor karet dengan pasar tertinggi ada di Tiongkok. Jika tidak ada keinginan serius membangun industri karet dari hulu ke hilir, sulit mengatasi persoalan jatuhnya harga di pasaran internasional.