Semarang, Jawa Tengah (ANTARA) - Ahli kriminologi dari Universitas Diponegoro, Semarang, Nur Rochaeti, mengungkap latar belakang kasus pengeroyokan terhadap Audrey, antara lain, karena frustasi sebagai sumber utama timbulnya kenakalan remaja.
"Timbulnya frustasi tersebut, sebagaimana kesimpulan WI Thomas dalam studinya terhadap kenakalan remaja, karena tidak dipenuhinya empat kebutuhan pokok (four wishes) remaja," kata dia, di Semarang, Kamis.
Eti, sapaan Nur Rochaeti, mengemukakan hal itu ketika menanggapi kasus dugaan pengeroyokan terhadap Audrey (siswi SMP) oleh sejumlah siswi SMA di Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (29/3).
Eti menyebut empat kebutuhan pokok tersebut, yakni adanya kebutuhan untuk memperoleh rasa aman; kebutuhan untuk memperoleh pengalaman baru sebagai usaha untuk memenuhi dorongan ingin tahu, petualangan, dan sensasi; kebutuhan untuk ditanggapi sebagai pemenuhan dorongan cinta dan persahabatan; kebutuhan untuk memperoleh pengakuan yang berupa status atau prestise.
"Keempat kebutuhan tersebut apabila tidak terpenuhi secara terus-menerus, akan menimbulkan frustasi," kata pakar hukum pidana dari Undip yang juga Ketua Dewan Pimpinan Kota Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia Semarang.
Selain itu, perasaan diperlakukan tidak adil merupakan bentuk khusus dari frustasi, seperti apa yang dikatakan ahli psikologi, Sigmund Freud, bahwa syarat pertama dari budaya keadilan. Apabila individu merasa rasa keadilannya diperkosa, perasaan frustasinya akan mendorongnya, terutama sekali untuk melakukan perbuatan agresif.
Eti lantas bertanya," Apakah kebutuhan tersebut sudah mereka dapatkan? Kita mengevaluasi diri. Kesalahan mereka di mana? Kita ada di mana sehingga hak-hak tersebut tidak kita berikan?"
Di dalam Konvensi Hak-Hak Anak, kata Eti, sudah mengatur adanya prinsip nondiskriminasi, prinsip yang terbaik bagi anak, prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan, serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.
Ia mengutarakan bahwa anak berhak terhadap hak-haknya yang harus mereka dapatkan dari keluarga, sekolah, masyarakat, negara, dan bersama ikut bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas mereka.
"Jadi, bukan lepas tangan ketika mereka berperilaku salah. Bukan hanya prestasi yang diakui keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara. Kita tanggung renteng bertanggung jawab terhadap perilaku mereka," katanya.
Pada sisi lain, ditegaskan Eti, korban harus ditangani secara medis, pendampingan ahli psikologi untuk penyembuhan traumatis setelah kejadian. Begitu pula terhadap pelaku, harus mendapatkan pendampingan advokasi, baik secara hukum maupun konseling secara psikis.
"Kita kawal keduanya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pelaku yang sebenarnya juga korban dan korban fisik dalam kasus tersebut," ujarnya.