Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Sejumlah pakar gizi menyebutkan hingga saat ini belum ada bukti ilmiah bahwa susu kental manis (SKM) menyebabkan berbagai penyakit seperti kegemukan dan diabetes.Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Ir Achmad Syafiq MSc PhD, Kamis menjelaskan bukti meyakinkan (convincing) mengenai pemicu risiko kegemukan adalah rendahnya aktivitas fisik, rendahnya asupan serat, dan tingginya asupan energi harian total.
"Jadi bukan dari satu jenis pangan,¿ kata Syafiq dalam keterangan yang diterima di Jakarta.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan penyebab kegemukan pada anak usia sekolah bukan akibat konsumsi makanan berisiko (gula, garam, lemak, berpengawet), melainkan kurangnya aktivitas fisik.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen.
Kenaikan prevalensi ini berhubungan dengan pola hidup, antara lain merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktivitas fisik, serta konsumsi buah dan sayur.
Peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Dr drg Amaliya mengatakan upaya Pemerintah mengatasi berbagai masalah kekurangan gizi di Indonesia perlu diapresiasi.
Riskesdas 2018 telah menunjukkan perbaikan status gizi balita di Indonesia, dimana proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2 persen (Riskesdas 2013) menjadi 30,8 persen.
Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6 persen (Riskesdas 2013) menjadi 17,7 persen.
Menurut dia, sangat penting seluruh pemangku kepentingan bersatu dan bekerja sama mengatasi permasalahan gizi di Indonesia, salah satunya dengan meningkatkan konsumsi susu dalam kehidupan sehari-hari.
Susu dan produk olahannya memiliki kandungan protein, lemak, dan vitamin yang sangat dibutuhkan guna mendukung perkembangan seseorang di setiap tahap kehidupan, namun konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi susu masyarakat Indonesia pada tahun 2017 hanya berkisar 16,5 liter per kapita per tahun.
Ini sangat rendah dibandingkan negara ASEAN lain sesuai data USDA Foreign Agricultural Service 2016 seperti Malaysia (50,9 liter), Thailand (33,7 liter), dan Filipina (22,1 liter).
Sampai saat ini, salah satu yang berandil besar terhadap konsumsi susu di masyarakat adalah susu kental manis, namun pandangan sebagian pihak mengenai susu kental manis terutama menyangkut kandungan gula dan susu masih kurang tepat sehingga memicu polemik.
Untuk meluruskan berbagai perbedaan pandangan itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Peraturan (Perka) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Peraturan ini mewajibkan label produk susu kental manis mencantumkan keterangan ¿Perhatikan! Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu; Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan; dan Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi¿.
Peraturan 31/2018 juga menegaskan susu kental manis sebagai produk susu, sejalan dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan.
¿Dalam aturan tersebut menyimpulkan susu kental manis adalah susu dan konsumsinya perlu memerhatikan aturan BPOM,¿ kata Amaliya.
Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM Anisyah berharap penerbitan Perka BPOM 31/2018 akan menjawab berbagai pertanyaan masyarakat.
Sesuai Perka tersebut, susu kental manis merupakan produk susu yang dapat dikonsumsi untuk meningkatkan gizi masyarakat Indonesia.
Namun, seperti halnya pangan olahan lain, susu kental manis tidak bisa dijadikan satu-satunya sumber gizi, tetapi harus didampingi sumber nutrisi lain agar lebih seimbang.
¿Kami sebagai bagian dari Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk memastikan efektivitas National Food Control Systems, salah satunya melalui pengawasan, dalam hal ini evaluasi dan verifikasi terhadap sistem keamanan pangan yang diterapkan oleh industri,¿ ujar Anisyah.
"Jadi bukan dari satu jenis pangan,¿ kata Syafiq dalam keterangan yang diterima di Jakarta.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan penyebab kegemukan pada anak usia sekolah bukan akibat konsumsi makanan berisiko (gula, garam, lemak, berpengawet), melainkan kurangnya aktivitas fisik.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen.
Kenaikan prevalensi ini berhubungan dengan pola hidup, antara lain merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktivitas fisik, serta konsumsi buah dan sayur.
Peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Dr drg Amaliya mengatakan upaya Pemerintah mengatasi berbagai masalah kekurangan gizi di Indonesia perlu diapresiasi.
Riskesdas 2018 telah menunjukkan perbaikan status gizi balita di Indonesia, dimana proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2 persen (Riskesdas 2013) menjadi 30,8 persen.
Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6 persen (Riskesdas 2013) menjadi 17,7 persen.
Menurut dia, sangat penting seluruh pemangku kepentingan bersatu dan bekerja sama mengatasi permasalahan gizi di Indonesia, salah satunya dengan meningkatkan konsumsi susu dalam kehidupan sehari-hari.
Susu dan produk olahannya memiliki kandungan protein, lemak, dan vitamin yang sangat dibutuhkan guna mendukung perkembangan seseorang di setiap tahap kehidupan, namun konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi susu masyarakat Indonesia pada tahun 2017 hanya berkisar 16,5 liter per kapita per tahun.
Ini sangat rendah dibandingkan negara ASEAN lain sesuai data USDA Foreign Agricultural Service 2016 seperti Malaysia (50,9 liter), Thailand (33,7 liter), dan Filipina (22,1 liter).
Sampai saat ini, salah satu yang berandil besar terhadap konsumsi susu di masyarakat adalah susu kental manis, namun pandangan sebagian pihak mengenai susu kental manis terutama menyangkut kandungan gula dan susu masih kurang tepat sehingga memicu polemik.
Untuk meluruskan berbagai perbedaan pandangan itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Peraturan (Perka) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Peraturan ini mewajibkan label produk susu kental manis mencantumkan keterangan ¿Perhatikan! Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu; Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan; dan Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi¿.
Peraturan 31/2018 juga menegaskan susu kental manis sebagai produk susu, sejalan dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan.
¿Dalam aturan tersebut menyimpulkan susu kental manis adalah susu dan konsumsinya perlu memerhatikan aturan BPOM,¿ kata Amaliya.
Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM Anisyah berharap penerbitan Perka BPOM 31/2018 akan menjawab berbagai pertanyaan masyarakat.
Sesuai Perka tersebut, susu kental manis merupakan produk susu yang dapat dikonsumsi untuk meningkatkan gizi masyarakat Indonesia.
Namun, seperti halnya pangan olahan lain, susu kental manis tidak bisa dijadikan satu-satunya sumber gizi, tetapi harus didampingi sumber nutrisi lain agar lebih seimbang.
¿Kami sebagai bagian dari Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk memastikan efektivitas National Food Control Systems, salah satunya melalui pengawasan, dalam hal ini evaluasi dan verifikasi terhadap sistem keamanan pangan yang diterapkan oleh industri,¿ ujar Anisyah.