Pada usianya yang masih anak-anak, Ahmad Bahar (10), harus hidup di rantau sebatang kara, tak ada sanak saudara, setelah kedua orang tuanya meninggal dunia.
KJRI Jeddah dalam keterangannya yang diperoleh Antara, Kamis, menggali dan mendalami informasi tentang siapa Bahar dan bagaimana perjalanan hidupnya setelah kedua orang tuanya wafat.
Dari hasil penelusuran dan penggalian informasi yang terbatas, ternyata Bahar lahir di Kota Suci Mekkah dari seorang ibu asal Indonesia dan ayah berwarga negara Bangladesh.
Sepeninggal kedua orang tuanya bocah kelahiran, 7 Juli 2008 ini, dirawat oleh satu keluarga Arab di Mekkah. Melalui seorang WNI, anak ini kemudian diserahkan kepada pihak kepolisian agar bisa dimasukkan ke karantina imigrasi atau yang dikenal dengan sebutan "Tarhil" di Shumaisi supaya dapat dipulangkan ke kampung halaman ibunya.
Bocah ini akhirnya dibawa seorang petugas polisi ke daerah Kudai yang berjarak sekitar empat kilometer dari Masjidil Haram. Di daerah ini terdapat lapangan parkir kendaraan yang sangat luas dan belakangan oleh para WNI ilegal dijadikan tempat menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib supaya bisa diangkut ke Tarhil. Di kalangan masyarakat setempat dan mukimin, lapangan ini populer dengan sebutan "Kudai."
Bahar kemudian diserahkan oleh petugas polisi yang membawanya kepada seorang ibu berinisial HM yang saat itu bersama puteranya sedang menyerahkan diri untuk diangkut ke Tarhil.
Ibu yang bersuamikan seorang pria Yaman ini semula menolak karena takut bermasalah di kemudian hari. Namun, polisi yang menitipkan Bahar tadi memaksa dia untuk membawa serta bocah malang itu ke Tarhil dan mengakuinya sebagai anak kadungnya agar bisa diperoses dan dimasukkan dalam satu mahdlar (berita acara pemeriksaan) di sistem keimigrasian, kemudian dipulangkan bersama-sama.
HM bersikukuh tidak mau membawa serta anak itu karena memang bukan anaknya dan tidak mengetahui latar belakangnya. Ia khawatir terjadi apa-apa saat nanti diperiksa petugas dalam karantina dan merepotkan dia nanti setibanya di Tanah Air.
Akan tetapi, polisi tadi tetap memaksa HM agar membawa Bahar sehingga dia bisa dimasukkan ke dalam satu manifet untuk memudahkan pengurusan "exit-nya" dan pemulangannya ke Indonesia.
Bocah yatim-piatu ini dijumpai oleh petugas KJRI Jeddah di sebuah ruang tahanan imigrasi atau Tarhil Shumaisi bersama HM dan anak kandungnya.
Saat ditanya petugas, Bahar hanya menunjukkan beberapa helai kertas, salah satunya fotokopi surat perjalanan laksana paspor (SPLP). Dalam fotokopi SPLP tersebut tertera nama Sarijah Nuryamin yang beralamat di Desa Sikanco, Nasawungu, Cilacap, Jawa Tengah. Bersama fotokopi SPLP itu, ditemukan pula surat keterangan. Rupanya almarhumah sempat mengajukan permohonan SPLP kepada KJRI Jeddah.
Belakangan terungkap bahwa almarhumah Sarijah Nuryamin merupakan peserta amnesti 2017 yang hendak pulang ke Tanah Air. Dari hasil BAP oleh petugas ketika itu, diperoleh keterangan bahwa almarhumah mengeluhkan menderita tumor mata. Berdasarkan penelusuran imigrasi KJRI Jeddah, almarhumah Sarijah telah memperoleh "exit permit" namun belum sempat pulang karena keburu meninggal.
Teknis Imigrasi KJRI Jeddah akhirnya mengirimkan pesan singkat kepada Kantor Imigrasi Kelas II Cilacap untuk menelusuri kebenaran data atas nama Sarijah. Dari surat balasan pihak Imigrasi Cilacap diperoleh keterangan pihak keluarga almarhumah mengakui bahwa Sarijah berasal dari Dusun Gunung Jaya, Desa Sikanco, Kecamatan Nusawungu, Cilacap.
Pihak keluarga juga mengakui bahwa almarhumah mempunyai seorang anak laki-laki yang lahir di Arab Saudi hasil perkawinannya dengan seorang warga negara Bangladesh bernama Ahmad Bahardin. Oleh karena itu, mereka berharap agar Bahar dipulangkan ke kampung halaman ibunya di Cilacap.
Atas upaya pendekatan KJRI Jeddah kepada pihak Imigrasi Arab Saudi di Tarhil Shumaisi, bocah malang ini akhirnya diberikan kemudahan memperoleh "exit permit" dan dipulangkan pada Rabu( 27/3), bersama HM dan anak laki-lakinya.
Bukan pertama
Berdasarkan catatan KJRI Jeddah selama melayani pemulangan WNI "overstayer", kasus Ahmad Bahar bukanlah yang pertama. Nasib serupa dialami juga oleh anak-anak tak berdosa lainnya hasil perkawinan tidak resmi dari orang tua WNI dengan warga negara asing di Arab Saudi.
Bahar masih bisa dibilang beruntung karena berbekal dokumen petunjuk sebagai identitas, meskipun hal itu hanya selembar fotokopi SPLP. Tidak jarang petugas KJRI Jeddah dihadapkan kepada kasus anak "keturunan" WNI yang tidak diketahui kewarganegaraan ayah-ibunya karena tidak ada bukti petunjuk identitas sama sekali.
Melihat banyaknya kasus semacam ini, Konsul Jenderal (Konjen) RI Jeddah mengimbau seluruh WNI, terutama yang tinggal secara tidak resmi di Arab Saudi, agar menyimpan bukti identitas, apapun bentuknya, baik itu paspor, SPLP, KTP, SIM, maupun bukti lainnya yang bisa menunjukkan diri sebagai WNI.
"Tidak sulit menyelipkan fotokopi dokumen identitas kewarganegaraan Indonesia dalam dompet. Sudah pasti akan membantu banyak kalau terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti kecelakaan atau meninggal dunia, menimpa," imbau Konjen Mohamad Hery Saripudin.
Sebelum Bahar dipulangkan, KJRI Jeddah mengirimkan berita kepada Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri RI dan pihak-pihak terkait lainnya di Indonesia untuk melakukan penjemputan di Bandara.
KJRI Jeddah juga memohon agar dilakukan pendampingan atau mengantar Bahar hingga kampung halaman ibunya guna memastikan bahwa bocah yatim-piatu itu diterima oleh keluarga ibunya.
(T.M016/M.H. Atmoko)