Transaksi yang dilakukan oleh Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini dengan menuntut uang imbalan dari anak buahnya yang ingin menjadi pejabat di kabupaten itu akhirnya mengungkapkan bahwa perputaran uang haram dalam jual beli jabatan bisa mencapai Rp44,37 triliun di Tanah Air.
Akhirnya kenyataan yang sangat pahit itu mendapat perhatian dari Istana kepresidenan, ketika Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo telah membicarakannya dalam sidang kabinet baru- baru ini.
"Riset (transaksi jual beli jabatan) tentang hal itu sudah mendapat perhatian Presiden. Dalam rapat terbatas kabinet kemarin sudah dibahas," kata Teten di Jakarta, Selasa (24/1). Presiden yang pernah menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah dan Gubernur DKI Jakarta sebelum menduduki posisi RI 1 tentu diperkirakan mengetahui kasus-kasus jual beli jabatan.
Sri Hartini baru-baru ini terkena operasi tangkap tangan alias OTT karena memaksa sejumlah anak buahnya yang ingin menjadi pejabat di Klaten untuk "menyetor" uang yang nilainya puluhan hingga ratusan juta rupiah per orang agar bisa duduk di kursi yang "sangat empuk". Suaminya pernah menjadi bupati sedangkan anak lelakinya kini menjadi anggota DPRD Klaten.
Ketika rumahnya digrebek Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru ini, bahkan ditemukan uang tunai yang nilainya kurang lebih Rp3 miliar. Pertanyaan "bodoh" yang pantas diajukan kepada Hartini adalah apakah gajinya sebagai kepala daerah atau honor anaknya sebagai wakil rakyat bahkan apakah tabungan suaminya yang merupakan mantan bupati bisa mencapai miliaran rupiah
Joko Widodo, kata Teten, ingin memberantas atau mengikis habis "budaya" setor-menyetor dari anak buah kepada bos demi posisi yang enak itu.
Jika masyarakat memikirkan kasus bupati Klaten yang telah dinonaktifkan itu, maka rakyat bisa teringat kepada mantan gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, karena wanita itu selama memimpin Provinsi Banten telah membuka "pintu selebar -lebarnya" bagi sanak saudara dan orang dekatnya untuk menjadi pejabat setempat. Bahkan ada keluarga dekatnya yang menjadi pengusaha sehingga dengan sangat mudah sekali mendapatkan begitu banyak proyek- proyek pemerintah yang menggunakan anggaran negara yang nilainya mencapai miliran bahkan belasan hingga puluhan miliar rupiah.
Ketika berkomentar tentang transaksi jual beli jabatan itu, anggota DPR Arteria Dahlan mengungkapkan bahwa "praktik itu terjadi akibat 'gelapnya' proses pengisian jabatan dan kepala daerah merasa paling berhak melakukannya".
Jika seorang pegawai negeri sipil sukses mendapat jabatan empuk, maka bisa diperkirakan yang paling pertama dipikirkannya adalah bukannya mengabdi kepada rakyat dan negara tapi bagaimana "mengembalikan " uangnya yang pasti tidak sedikit itu dan kemudian bagaimana mencari "laba atau keuntungan" dari jabatannya itu apalagi dia tidak tahu berapa lama jabatan itu akan disandangnya.
Dengan melihat nilai transaksi jual beli jabatan yang mencapai puluhan triliun rupiah itu, maka rakyat Indonesia yang lebih dari 252 juta jiwa itu tentu berhak kapan pemerintah mulai bertindak tegas supaya praktik-praktik itu segera berakhir karena "usaha kotor" semacam ini pasti akan terus merusak bangsa dan negara yang justru sedang membangun di semua sektor kehidupan masyarakat.
Arteria menyatakan bahwa sistem rekrutmen atau pengangkatan pegawai negeri harus diperkuat yang disertai pengawasan yang maksimum serta pemerintah harus bertekad keras membabat habis jual beli jabatan atau istilah populernya rente dagang jabatan.
Usul dari anggota DPR itu tentulah ideal. Tapi rakyat terutama orang- orang awam berhak bertanya kapan dan mulai dari mana pemerintah harus bertindak?.
Sebenarnya di negara ini, ada sebuah lembaga yang kerennya bernama Komisi Aparatur Sipil Negara atau KSAN. Tapi aneh bin ajaib, ternyata KASN ini tak diberi kewenangan yang jelas bahkan kuat. Malahan ada usul supaya KASN dibubarkan saja dengan dalih hasil kerjanya "tak jelas" dan dalam upaya mengurangi anggaran pemerintah guna membiayai berbagai lembaga nonstruktural.
Jika kembali ke kasus Sri Hartini, maka orang awam pun bisa membayangkan bahwa ketika dia ingin menjadi calon bupati, maka pasti memerlukan "segepok" uang supaya secara resmi menjadi calon bupati dan kemudian harus berkampanye ke seluruh daerah kabupaten supaya gambarnya "dicoblos atau ditusuk" oleh para pemilih. Karena dia gagal meneruskan jabatannya sebagai bupati, maka bisa dibayangkan hilangnya "pemasukan" baik yang resmi maupun haram.
Karena itu, pendapat anggota atau Komisioner KASN Tasdik Kinanto supaya siapa pun yang melaksanakan jual beli jabatan harus ditindak tegas patut didukung oleh semua pihak termasuk wakil rakyat di Senayan karena ada anggota DPR yang mengusulkan pembubaran KASN.
"Kami akan berkoordinasi dengan Kepolisian, KPK dan Kejaksaan," kata Tasdik.
Tasdik atau KASN boleh saja berpendapat atau berpikiran demikian. Namun orang awam pun bisa berpendapat bahwa yang paling berhak memberantas transaksi jual beli jabatan adalah pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Tjahjo Kumolo.
Tjahjo Kumolo yang mengendalikan 34 gubernur dan sekitar 514 wali kota dan bupati di seluruh Tanah Air pasti telah dan akan bisa mendeteksi bakal terjadinya transaksi jual beli jabatan. Di Kementerian Dalam Negeri, misalnya terdapat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dan Inspektorat Jenderal yang bisa "mencium atau mendeteksi" praktik-praktik haram semacam itu.
Apa sih pentingnya memberantas transaksi atau jual beli jabatan ini?
Yang harus menjadi sasaran adalah jika ada pengisian jabatan maka tidak boleh lagi terjadi "praktik suap atau setor" karena jika hal itu terus dibiarkan maka yang ada pada pikiran pejabat atau calon pejabat adalah bagaimana mencari uang untuk dijadikan setoran kepada atasan atau pejabat yang berwenang.
Yang paling utama dan terpenting adalah menciptakan jajaran aparatur negara yang sanggup mengabdi kepada rakyat dan bangsa tanpa ada ambisi pribadi sedikitpun juga karena mereka harus sadar bahwa mereka digaji oleh rakyat untuk meningkatkan harkat dan martabat rakyat dan bukannya memperkaya diri sendiri dan semua atasannya.
Karena itu, Presiden bisa dan bahkan harus meningkatkan operasi "saber" atau sapu bersih sehingga tidak hanya menyangkut pemeberantasan pungutan liar atau pungli seperti di Kementerian Perhubungan baru-baru ini di Jakarta tapi juga praktik jual beli jabatan.
Masa jabatan Joko Widodo memang masih sekitar dua tahun lagi. Tapi Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga harus membuktikan secara nyata kepada rakyat bahwa memberantas atau memberangus jual beli jabatan juga menjadi prioritas utama demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.