Tantangan jasa konstruksi menghadapi MEA

id jasa konstruksi, konstruksi, masyarakat ekonomi asean, mea, smk, ruu jk, Kementerian PUPR

Tantangan jasa konstruksi menghadapi MEA

Ilustrasi (FOTO ANTARA)

....Daya saing tenaga kerja kontruksi Indonesia masih lemah sementara pada lima tahun mendatang dibutuhkan dana dan SDM yang cukup banyak....

Palembang, (ANTARA Sumsel) - Peningkatan biaya investasi pemerintah dan swasta akan menjadikan Indonesia menjadi salah satu pasar konstruksi terbesar di dunia dalam beberapa dasawarsa mendatang.

Pemerintah menargetkan infrastruktur baru yang harus dibangun selama periode 2015-2019 di antaranya, 15 bandara, 24 pelabuhan, 2.350 kilometer jalan baru, 1.000 kilometer jalan tol, 63 waduk, dan 500.000 lebih rumah susun sederhana sewa.

Sebelumnya, Indonesia sudah tercatat sebagai pasar jasa konstruksi terbesar dengan nilai 267 miliar dolar AS. Sedangkan untuk cakupan wilayah Asia, Indonesia termasuk dalam peringkat keempat di bawah China (1,78 triliun dolar AS), Jepang (742 miliar dolar AS), dan India (427 miliar dolar AS).

Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Yusid Toyib di Palembang, mengatakan artinya dibutuhkan dana dan sumber daya manusia yang cukup banyak pada tahun mendatang.

Di tengah periode ini, Indonesia dihadapkan pada tantangan yakni Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan resmi bergulir setelah 31 Desember 2015.

"Mengapa ini menjadi tantangan? karena disadari daya saing tenaga kerja kontruksi Indonesia masih lemah sementara pada lima tahun mendatang dibutuhkan dana dan SDM yang cukup banyak. Artinya, jika tidak dapat memenuhi, maka lahan ini akan diambil asing karena pekerja lokal kurang daya saing," kata dalam sebuah acara yang digelar Lembaga Pengembang Jasa Kontruksi Provinsi Sumsel.

Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat diketahui bahwa jumlah tenaga kerja yang sudah memiliki sertifikasi hanya 6,55 persen dari 7,3 juta tenaga konstruksi, dengan rincian 124.864 orang ahli dan 353.425 orang terampil.

Lantaran itu, menjelang bergulirnya kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di Indonesia, Kementerian PU PR menggodok Rancangan Undang-Undang Jasa Konstruksi (RUU JK) demi mendorong daya saing tenaga kerja Indonesia.

Kementerian PUPR juga berencana memberikan perhatian lebih bagi tenaga asing yang ingin bekerja di Indonesia, terutama di bidang jasa konstruksi.

"Semua tenaga asing yang masuk harus disertifikasi, berkoordinasi juga dengan LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi yang disesuaikan dengan kemampuannya mau ahli ataupun teknis," kata lulusan Teknik Sipil Universitas Sriwijaya ini.

Saat ini, baru ada sekitar enam ribuan tenaga asing yang sudah disertifikasi.

Oleh karena itu, pada proyek besar, Kementerian PU PR berencana mendatangkan langsung instruktur dan tim asesor ke lokasi untuk kemudian menggelar proses sertifikasi.

Melalui percepatan ini diharapkan Kementerian PUPR dapat menaikkan jumlah tenaga asing bersertifikat di bidang jasa konstruksi sebanyak 10 persen.

Sertifikasi untuk tenaga asing dinilai perlu agar para konstruktor tidak secara asal mempekerjakan mereka karena pemerintah tak ingin kecolongan dengan banyaknya tenaga asing yang masuk ke Indonesia tanpa memiliki kemampuan atau keahlian sama sekali.

Tak hanya bagi tenaga asing, sertifikasi juga akan dilakukan bagi tenaga kerja lokal dengan tujuan tak lain meningkatkan daya saing.

Pentingnya Sertifikasi

Rendahnya tenaga kerja bersertifikasi di Indonesia juga terlihat jelas pada data yang dimiliki Lembaga Pengembang Jasa Konstruksi Provinsi Sumatera Selatan per November 2015.

Diketahui, jumlah tenaga kerja yang sudah bersertifikasi hanya berjumlah 4.677 orang dengan rincian, untuk pemilik sertifikat SKA (keahlian) sebanyak 1.959 orang dan SKTK (keterampilan) sebanyak 2.718 orang.

Kepala Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi Sumatera Selatan Sastra Suganda mengatakan, jumlah itu diperkirakan hanya 10 persen dari potensi tenaga kerja yan ada di daerah tersebut.

Padahal, ia melanjutkan, jika bicara `senjata` untuk menghadapi persaingan dengan negara-negara di ASEAN, seharusnya Sumsel sudah memiliki 40 ribu tenaga kerja bersertifikasi.

Rendahnya tenaga kerja bersertifikasi ini, menurut Sastra tak lepas dari kurangnya kesadaran tenaga kerja untuk menyertifikasikan dirinya sendiri.

Umumnya, tenaga kerja memiliki sertifikasi atas keterampilan dan keahlian yang dimiliki lantaran dibuatkan oleh pemilik usaha yang bertujuan memenuhi syarat mengikuti tender jasa kontruksi.

Seperti diketahui, badan usaha dengan nilai proyek sebesar Rp1 miliar diharuskan memiliki tenaga kerja bersertifikat keterampilan SKT III, kemudian jika bernilai Rp1,75 miliar maka harus memiliki tenaga kerja bersertifikat SKT II. Lalu, jika proyek bernilai Rp2,5 miliar maka harus memiliki tenaga kerja bersertifikasi SKT I.

Sedangkan, aturan lain menyatakan bahwa badan usaha harus memiliki pekerja bersertifikat keahlian (SKA Muda) untuk nilai proyek bernilai dibawah Rp10 miliar, dan SKA Madya untuk nilai proyek berkisar Rp10 miliar-Rp50 miliar. Sedangkan SKA utama untuk nilai proyek di atas 50 miliar hingga tidak terhingga yang dilegalisasi oleh LPJK Nasional.

"Sejauh ini saya mengamati jika dari tenaga kerja sendiri yang secara sadar mau membuat, bisa dikatakan hampir tidak ada di Sumsel," ujar Sastra.

Ia tidak menyangkal, hal ini juga dilatari budaya di masyarakat yang tidak terbiasa dengan membuat sertifikat atas keahlian yang dimiliki.

Sayangnya, negara-negara di ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, sudah sejak lama mendorong tenaga kerjanya bersertifikat keahlian karena sertifikat dijadikan dasar untuk menilai tingkat kecakapan seseorang.

"Contohnya begini, di Sumsel ini banyak tukang bagus, tapi jika ditanya mana buktinya (sertifikat, red) maka mereka sama sekali tidak memiliki," kata dia.

Untuk itu, sangat dibutuhkan peran pemerintah, asosiasi profesi untuk mempercepat ini agar tenaga kerja khususnya di bidang konstruksi mampu bersaing ketika MEA mulai berlaku.

Dukungan ini berupa sokongan dana subsidi berua bantuan biaya pembuatan sertifikat keahlian karena sebagian besar tenaga kerja enggan menyertifikasi dirinya karena terkendala biaya.

Biaya membuat SKT III sebesar Rp350 ribu, SKT II Rp450 ribu dan SKT I Rp550 ribu.

Selain itu, bagi mereka yang belum mengikuti pelatihan juga diwajibkan mengikutinya di asosiasi masing-masing, di antaranya, Asosiasi Profesionalis Elektrikal-Mekanikal Indonesia (APEI) dan Gabungan Tenaga Ahli Konstruksi (Gataki).

"Nah persoalannya, bukan hanya biaya pelatihannya, mereka juga malas meluangkan waktunya," ujar dia.

Siswa SMK

Di tengah kekhawatiran terhempasnya tenaga kerja Indonesia saat Masyarakat Ekonomi ASEAN diberlakukan, siswa Sekolah Menengah Kejuruan justru memunculkan harapan yakni harapan menjadi bagian dari kekuatan ekonomi baru di kawasan Asia Tenggara bersama Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei, Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Sumber Daya Manusia SMK Negeri 2 Palembang Malizon di Palembang, Jumat, mengatakan, siswa SMK tergolong kelompok yang paling siap menghadapi MEA karena setelah lulus, mereka bukah hanya mendapatkan ijasah, tapi juga dua sertifikat sekaligus yakni dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Badan Nasional Sertifikat Profesi (BNSP).

"Sebenarnya, bagi siswa SMK sudah tidak terkejut lagi dengan MEA ini karena pada tahun 90-an sudah diperkenalkan bahwa bakal datang era globalisasi. Jadi sejak lama, siswa SMK itu, selain memiliki ijasah juga memiliki sertifikat keahlian," ujar dia.

Dari sisi keahlian, ia menjamin anak asuhnya mampu bersaing karena telah dididik oleh guru bersertifikasi dan berkesempatan magang sebagai tenaga kerja.

Selain itu, model spesialisasi yang diterapkan dalam kurikulum pendidikan saat ini juga turut mengiring siswa SMK (calon tenaga kerja) menjadi mahir atas bidang yang dipilihnya.

Lantaran itu, sekitar 40 persen lulusan SMK N 2 Palembang terserap di dunia kerja, sementara 35 persen melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, dan sekitar 25 persen yang tidak diketahui kabar beritanya.

"Pada tahun 90-an, siswa SMK bisa semua semisal otak-atik mesin, menggambar, hingga alat-alat listrik, tapi tidak tuntas (tidak mahir, red). Tapi kini, lulusan SMK tidak lagi seperti itu, mereka sejak kelas baru masuk sudah disuruh memilih mau mengambil jurusan apa, jadi benar-benar mahir setelah lulus," kata dia.

Ia menambahkan, bermodalkan, dua sertifikat itu, beberapa anak asuhnya bisa diterima bekerja di sejumlah perusahaan nasional. "Belum lama ini ada yang bekerja sebagai tenaga teknik untuk pembangunan Lapangan Terbang di Pagaralam, Sumsel," kata dia.

Elfianti (17), siswa kelas XII SMK N 2 Palembang mengatakan justru tidak tahu bahwa dirinya harus memiliki sertikasi LPJK jika ingin berkecimpung di dunia kontruksi.

"Saya lihat, kakak kelas langsung bekerja saja ikut konsultan, atau perusahaan. Tapi jika memang diharuskan, saya berencana membuatnya," kata Elfi yang dijumpai ketika sedang praktek lapangan di sekolahnya).

Bagi Elfi, langsung bekerja setelah lulus menjadi cita-citanya, seperti kebanyakan teman-temannya.

Ia pun optimitis bisa tercapai karena bidang ilmu ukur tanah sedang dibutuhkan karena saat ini terjadi pembangunan yang cukup gencar di Palembang.

Terkait dengan adanya acaman dari tenaga kerja asing, Elfi mengatakan hal itu tidak perlu ditakutkan karena sebagai penduduk asli dipastikan memiliki keunggulan terkait pemahaman kondisi kehidupan sosial masyarakat.

Pemerintah terus mendorong sertifikasi pekerja konstruksi. Namun, upaya di pengujung waktu ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari tenaga kerja, asosiasi, kalangan swasta, dan masyarakat sendiri.

Kini, Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah di depan mata, tidak ada jalan untuk kembali selain mempersiapkan diri sebaik-baiknya.