Benarkah Hiroshima dan Nagasaki dibom akibat kekeliruan penerjemah?

id Hiroshima,nagasaki,perang dunia 2,sekutu,amerika serikat,bom atom,postdam

Benarkah Hiroshima dan Nagasaki dibom akibat kekeliruan penerjemah?

Warga meletakkan bunga untuk memperingati korban bom atom di Taman Peringatan Perdamaian Hiroshima di Hiroshima, Jepang, Rabu (5/8/2024). Ketika masyarakat Jepang memperingati peringatan bom atom di kota barat Hiroshima, sejumlah orang dari seluruh negara berkumpul untuk memprotes percepatan pembangunan senjata yang dilakukan pemerintah, dan mendesak pemerintah untuk tetap berpegang pada perdamaian. ANTARA FOTO/Xinhua/Zhang Xiaoyu/Spt.

Tetapi teknologi, betapapun canggihnya, tidak pernah bisa menggantikan pemahaman mendalam tentang budaya dan manusia

Membangun dunia

Namun, di luar itu, peristiwa ini mengangkat pertanyaan yang lebih besar: Berapa banyak tragedi dalam sejarah yang sebenarnya bisa dihindari jika manusia lebih berhati-hati dengan bahasa?

Berapa kali komunikasi yang salah menjadi awal dari konflik besar? Dan mengapa, meskipun manusia memiliki teknologi canggih, mereka masih terus jatuh dalam jebakan kesalahpahaman ini?

Era modern menawarkan pelajaran baru. Dengan penerjemah berbasis kecerdasan buatan, akses informasi yang lebih luas, dan platform komunikasi global, manusia seharusnya bisa mengurangi risiko seperti ini.

Tetapi teknologi, betapapun canggihnya, tidak pernah bisa menggantikan pemahaman mendalam tentang budaya dan manusia. Kata-kata adalah sesuatu yang hidup, mereka membawa emosi, niat, dan sejarah yang tak bisa sepenuhnya diurai oleh algoritma.

Mokusatsu adalah simbol dari batasan pemahaman manusia, sebuah pengingat bahwa komunikasi yang buruk bisa menjadi senjata paling berbahaya.

Dalam konteks perang, ia menghancurkan kota. Dalam kehidupan sehari-hari, ia merusak hubungan, menimbulkan salah paham, dan membangun tembok di antara kita.

Namun, pelajaran terbesar dari kisah ini mungkin adalah pengingat tentang tanggung jawab moral yang dimiliki dalam menggunakan bahasa.

Kata-kata bukan sekadar alat komunikasi; mereka adalah jembatan, atau dalam kasus tertentu, tembok. Ketika manusia berbicara, menulis, atau menerjemahkan, ia tidak hanya mentransfer informasi, tetapi juga membangun dunia.

Dan dunia seperti apa yang ingin dibangun tergantung pada seberapa bijaksana dalam memilih kata-kata.

Bayangkan sejenak jika Suzuki menggunakan kata lain yang lebih lugas, atau jika penerjemah Sekutu mengambil waktu untuk menggali makna budaya di balik mokusatsu. Barangkali, sejarah akan berjalan berbeda. Mungkin, Hiroshima dan Nagasaki tidak akan menjadi monumen kesalahan manusia dalam berkomunikasi.

Faktanya manusia hidup di dunia yang penuh dengan ambiguitas. Tetapi, tragedi seperti ini mengajarkan semua untuk selalu mencari makna di balik kata-kata, untuk memahami bukan hanya apa yang dikatakan, tetapi juga mengapa itu dikatakan.

Dalam dunia yang semakin terhubung, pelajaran ini lebih relevan dari sebelumnya. Sebab, di dalam setiap kata, ada kuasa. Dan kuasa itu, jika disalahgunakan atau salah dipahami, dapat membawa seseorang ke puncak perdamaian atau ke jurang kehancuran.

Mokusatsu, pada akhirnya, adalah lebih dari sekadar kata. Ia adalah pengingat abadi tentang kompleksitas bahasa, kesalahan manusia, dan pentingnya empati dalam memahami satu sama lain.

Sebuah pelajaran yang jika dipahami dengan benar, dapat membantu manusia dalam membangun dunia yang lebih damai. Atau, setidaknya, dunia di mana kata-kata tidak lagi menjadi alasan untuk perang.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Benarkah Hiroshima dan Nagasaki dibom akibat kekeliruan penerjemah?