Faktor politis
Boris Naimushin, Associate Professor dalam bidang Penerjemahan dan Penafsiran di Departemen Bahasa dan Budaya Asing di New Bulgarian University, Sofia, Bulgaria, dalam artikelnya "Hiroshima, Mokusatsu and Alleged Mistranslations," berpendapat bahwa fokus pada satu kata tanpa mempertimbangkan konteks keseluruhan dapat mengalihkan perhatian dari faktor politik yang lebih luas.
Menurutnya, pesan keseluruhan dari pernyataan Suzuki jelas menolak ultimatum Sekutu, terlepas dari bagaimana "mokusatsu" diterjemahkan.
Ia bukan satu-satunya sejarawan yang percaya bahwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki merupakan langkah strategis untuk menunjukkan kekuatan kepada dunia, khususnya Uni Soviet, yang mulai muncul sebagai kekuatan global.
Jika itu benar, maka mokusatsu hanyalah alasan yang dicari-cari untuk melegitimasi keputusan yang sudah dirancang sebelumnya.
Meskipun dari situ dapat diambil pelajaran yang berarti bahwa salah satu alat paling mematikan dalam sejarah manusia adalah bahasa itu sendiri.
Kata-kata yang diucapkan, dituliskan, atau diterjemahkan membawa dampak yang sering kali melampaui apa yang pernah dibayangkan.
Dalam komunikasi lintas bahasa dan budaya, ambiguitas sering kali adalah musuh terbesar. Penerjemah Sekutu memahami mokusatsu sebagai bentuk penghinaan dan penolakan mutlak terhadap ultimatum.
Dalam konteks perang yang penuh ketegangan, interpretasi itu menjadi titik balik yang fatal. Sekutu, khususnya Amerika Serikat, menganggap Jepang tidak hanya menolak menyerah, tetapi juga menghina tuntutan mereka.
Beberapa pekan kemudian, dua kota Jepang menjadi saksi kekuatan destruktif bom atom, sebuah keputusan yang melibatkan bukan hanya teknologi, tetapi juga politik, kuasa, dan ego.
Namun, apakah kesalahan terletak sepenuhnya pada penerjemahan? Atau, mungkinkah mokusatsu hanyalah sebuah kebetulan dalam skenario yang jauh lebih besar? Di balik kata ini, ada pelajaran mendalam tentang cara manusia memahami atau gagal memahami satu sama lain.
Kisah ini mengajarkan semua tentang kompleksitas komunikasi, terutama ketika lintas budaya. Kata-kata tidak pernah hanya soal makna harfiah dimana mereka adalah produk dari budaya, nilai, dan konteks sejarah.
Dalam budaya Jepang, ketidaklangsungan adalah kebiasaan yang sering dipilih untuk menjaga kehormatan dan martabat, baik individu maupun bangsa.
Sebuah jawaban seperti mokusatsu mungkin dianggap wajar dalam komunikasi internal Jepang, namun menjadi bencana dalam interaksi internasional.
Sebaliknya, dalam budaya Barat, yang sering kali lebih lugas dan langsung, ambiguitas seperti ini bisa disalahartikan sebagai tantangan atau penghinaan.