Jakarta (ANTARA) - Penderita gagal ginjal membutuhkan inovasi medis dan terapi pengganti ginjal untuk membantu meningkatkan kualitas dan harapan hidup.
Sejak 2017, RS Siloam ASRI telah menerapkan metode laparoskopi intraperitoneal untuk pengambilan ginjal dari pendonor hidup dan tidak pernah lagi menggunakan metode konvensional operasi terbuka (dengan sayatan besar).
Metode laparoskopi intraperitoneal, yang hanya memerlukan sayatan kecil 1-2 cm sebanyak 3-4 garis dapat mengurangi risiko komplikasi mencederai organ vital di sekitar ginjal.
"Pengembangan lebih lanjut sejak tahun 2020 dilakukan teknik laparoskopi retroperitoneal ini mengurangi risiko komplikasi karena tidak mengganggu organ-organ intra abdomen lain seperti saluran pencernaan dan pembuluh darah utama,” ujar Dokter Spesialis Urologi RS Siloam ASRI, Prof DR dr Nur Rasyid, Sp.U (K) dalam keterangan tertulis pada Selasa.
Pendonor yang menjalani prosedur itu merasakan pemulihan yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode operasi terbuka. Umumnya, mereka hanya membutuhkan waktu perawatan 2-3 hari kemudian bisa kembali beraktivitas normal dalam seminggu setelah operasi.
Untuk kondisi keterbatasan donor, kata dia, RS Siloam ASRI melakukan teknik canggih operasi bedah mikro yang menggabungkan 2-3 pembuluh darah arteri ginjal. Hal tersebut memperpendek warm ischemik dan meningkatkan keberhasilan transplantasi.
"Dengan penerapan inovasi-inovasi ini, RS Siloam ASRI dapat memberikan hasil yang lebih baik dan mengurangi risiko komplikasi pascaoperasi baik bagi pendonor maupun penerima,” tambah Prof Nur Rasyid.
Transplantasi pada anak
dr. Ina Zarlina, Sp.A (K), salah satu dokter spesialis anak yang baru-baru ini berhasil melakukan transplantasi anak di RS Siloam ASRI menyebutkan bahwa penyebab penyakit ginjal kronis (PGK) pada anak yang berujung pada kebutuhan transplantasi ginjal sering kali berbeda dibandingkan pada orang dewasa.
"Sekitar 30 persen kasus PGK pada anak disebabkan kelainan bawaan, seperti kelainan glomerulus yang memengaruhi fungsi ginjal. Ini termasuk gangguan genetik dan malformasi ginjal yang hadir sejak lahir. Selain itu, penyakit ginjal pada anak-anak juga sering kali berhubungan dengan infeksi atau gangguan metabolik yang belum terdeteksi sejak dini," kata dr Ina.
Salah satu tantangan terbesar dalam transplantasi ginjal pada anak adalah pencarian pendonor yang cocok karena perlu menyesuaikan ukuran ginjal dan dosis imunosupresan yang cocok dengan kondisi tubuh anak yang masih berkembang.
Selain itu, terapi pengganti ginjal seperti cuci darah (hemodialisis) atau Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) juga menjadi alternatif, meski tidak optimal dalam jangka panjang.