Barat di antara Perang Ukraina danPerang Gaza
Kehilangan landasan moral
Perbedaan sikap itu salah satunya terlihat dari reaksi atas kunjungan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen ke Israel pada 13 Oktober.
Lawatan itu membuat murka Presiden Dewan Eropa Charles Michel yang seperti halnya Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell, amat mempedulikan kemarahan dunia Arab terhadap sikap Barat dalam konflik Israel-Palestina.
Perbedaan sikap itu tidak hanya mengancam kekompakan Eropa, namun juga mengganggu komitmen mereka kepada Ukraina.
Lembaga think tank Amerika Serikat, Institute for the Study of War, baru-baru ini menyampaikan analisisnya bahwa pemerintah Rusia berusaha terus mengeksploitasi konflik di Gaza demi menguatkan retorika anti campur tangan Barat di Ukraina, mendemoralisasi rakyat Ukraina dan meyakinkan rakyat Rusia bahwa Barat mengalihkan perhatian ke Israel.
Dua peristiwa yang menjadi ujian berat bagi Barat itu, membuat pertarungan membela Ukraina di forum diplomasi global pun menjadi lebih sulit.
Pada 2 Maret 2022, Majelis Umum PBB dengan mulus mengadopsi resolusi menolak invasi Rusia ke Ukraina, yang disebut dalam resolusi itu sebagai "invasi brutal". Resolusi itu juga menuntut Rusia agar segera menarik pasukannya dari Ukraina dan menaati hukum internasional.
Resolusi itu didukung oleh 141 negara. Cuma lima negara yang menentang, sedangkan 35 negara memilih abstain.
Tetapi dalam situasi seperti sekarang ketika standard ganda Barat terkuak lebar, Ukraina mungkin tak bisa mendapatkan dukungan sebesar pada 2 Maret 2022 itu, jika situasi konflik mengharuskan Ukraina kembali meminta dukungan forum PBB.
Mungkin jumlah negara yang mendukung invasi Rusia akan tetap sekecil seperti dalam resolusi 2 Maret 2022, namun jumlah negara yang abstain bisa jauh lebih banyak, sehingga bisa menggagalkan lolosnya resolusi.
Beberapa negara Barat berusaha mengoreksi sikap dengan mencoba adil kepada Palestina, di antaranya Spanyol yang kini lantang menyerukan pengakuan Negara Palestina.
Sampai sekarang baru 138 negara, termasuk Indonesia, yang sudah mengakui Negara Palestina.
Sebaliknya, 55 negara yang kebanyakan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara termasuk Amerika Serikat, tak mengakui Negara Palestina.
Namun realitas di dua konflik saat ini mungkin dapat memaksa Barat berubah pandangan. Tapi mungkin juga mereka bergeming dengan sikapnya saat ini.
Jika pilihan kedua yang diambil, maka Barat membiarkan dirinya terus dianggap berstandar ganda yang akibatnya bisa kehilangan landasan moral untuk menggalang dukungan dari masyarakat dalam perang di Ukraina.
Perbedaan sikap itu salah satunya terlihat dari reaksi atas kunjungan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen ke Israel pada 13 Oktober.
Lawatan itu membuat murka Presiden Dewan Eropa Charles Michel yang seperti halnya Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell, amat mempedulikan kemarahan dunia Arab terhadap sikap Barat dalam konflik Israel-Palestina.
Perbedaan sikap itu tidak hanya mengancam kekompakan Eropa, namun juga mengganggu komitmen mereka kepada Ukraina.
Lembaga think tank Amerika Serikat, Institute for the Study of War, baru-baru ini menyampaikan analisisnya bahwa pemerintah Rusia berusaha terus mengeksploitasi konflik di Gaza demi menguatkan retorika anti campur tangan Barat di Ukraina, mendemoralisasi rakyat Ukraina dan meyakinkan rakyat Rusia bahwa Barat mengalihkan perhatian ke Israel.
Dua peristiwa yang menjadi ujian berat bagi Barat itu, membuat pertarungan membela Ukraina di forum diplomasi global pun menjadi lebih sulit.
Pada 2 Maret 2022, Majelis Umum PBB dengan mulus mengadopsi resolusi menolak invasi Rusia ke Ukraina, yang disebut dalam resolusi itu sebagai "invasi brutal". Resolusi itu juga menuntut Rusia agar segera menarik pasukannya dari Ukraina dan menaati hukum internasional.
Resolusi itu didukung oleh 141 negara. Cuma lima negara yang menentang, sedangkan 35 negara memilih abstain.
Tetapi dalam situasi seperti sekarang ketika standard ganda Barat terkuak lebar, Ukraina mungkin tak bisa mendapatkan dukungan sebesar pada 2 Maret 2022 itu, jika situasi konflik mengharuskan Ukraina kembali meminta dukungan forum PBB.
Mungkin jumlah negara yang mendukung invasi Rusia akan tetap sekecil seperti dalam resolusi 2 Maret 2022, namun jumlah negara yang abstain bisa jauh lebih banyak, sehingga bisa menggagalkan lolosnya resolusi.
Beberapa negara Barat berusaha mengoreksi sikap dengan mencoba adil kepada Palestina, di antaranya Spanyol yang kini lantang menyerukan pengakuan Negara Palestina.
Sampai sekarang baru 138 negara, termasuk Indonesia, yang sudah mengakui Negara Palestina.
Sebaliknya, 55 negara yang kebanyakan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara termasuk Amerika Serikat, tak mengakui Negara Palestina.
Namun realitas di dua konflik saat ini mungkin dapat memaksa Barat berubah pandangan. Tapi mungkin juga mereka bergeming dengan sikapnya saat ini.
Jika pilihan kedua yang diambil, maka Barat membiarkan dirinya terus dianggap berstandar ganda yang akibatnya bisa kehilangan landasan moral untuk menggalang dukungan dari masyarakat dalam perang di Ukraina.