Barat di antara Perang Ukraina danPerang Gaza
Tak terjadi dalam ruang hampa
Finlandia dan Swedia khawatir Rusia memicu perang karena wilayah mereka berdekatan atau berhadapan dengan Rusia, di samping terlibat beberapa kali sengketa dengan Rusia di era silam.
Memang AS langsung mengirimkan pasukan dan alat tempur ke negara-negara NATO di garis depan Ukraina, yakni Polandia dan tiga negara Baltik; Latvia, Lithuania dan Estonia.
Namun dalam dua peristiwa itu, Ukraina terlihat kalah penting ketimbang Israel, yang mungkin terjadi karena demikian kuatnya lobi Israel di Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Padahal dengan cara itu Barat berjudi dengan kemungkinan hilangnya landasan moral untuk menggalang dukungan dunia di Ukraina.
"Narasi Eropa menerapkan standar ganda dan munafik menjadi semakin kencang seiring dengan terus bertambahnya jumlah warga sipil yang tewas di Gaza. Situasi ini akan mempersulit upaya mencapai konsensus Ukraina dalam forum-forum internasional," kata Luigi Scazzieri dari lembaga think tank, Centre for European Reform.
Orang-orang seperti Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg tak mau melihat realitas seperti itu. Dia menegaskan bahwa situasi Gaza dan situasi Ukraina jauh berbeda.
"Ukraina tak pernah mengancam Rusia, Ukraina tak pernah menyerang Rusia," kata Stoltenberg. "Sebaliknya, invasi Rusia di Ukraina adalah invasi tanpa sebab terhadap negara lain."
Stoltenberg benar dalam beberapa hal, tapi dia melupakan situasi-situasi sebelum serangan Hamas pada 7 Oktober yang memicu serangan balasan Israel di Jalur Gaza.
Dia lupa, diskriminasi, kebijakan aparthied Israel dan pengusahaan tanah-tanah Palestina yang diduduki Israel oleh pemukim-pemukim Yahudi, tak bisa tidak disebut terpisah dari faktor yang mempengaruhi militansi Palestina.
Bahkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pernah menyatakan serangan Hamas pada 7 Oktober itu "tidak terjadi dalam ruang hampa", yang artinya terjadi tidak tanpa alasan.
Ketika Israel murka untuk kemudian meminta Guterres dilucuti dari jabatannya, Portugal yang menjadi negara asal Guterres menolak seruan Israel itu.
Menteri Luar Negeri Portugal Joao Gomes Cravinho menegaskan tak akan menarik Guterres, pun tak akan mengingatkan diplomat besarnya itu.
Itu adalah salah satu contoh mengenai pecah sikap di Eropa. Mereka terbelah karena sikap mendua mereka sendiri dalam konflik Ukraina dan Gaza.
Perbedaan pendapat itu tak hanya terjadi antar negara anggota Uni Eropa, tapi juga antar badan blok kawasan tersebut.
Finlandia dan Swedia khawatir Rusia memicu perang karena wilayah mereka berdekatan atau berhadapan dengan Rusia, di samping terlibat beberapa kali sengketa dengan Rusia di era silam.
Memang AS langsung mengirimkan pasukan dan alat tempur ke negara-negara NATO di garis depan Ukraina, yakni Polandia dan tiga negara Baltik; Latvia, Lithuania dan Estonia.
Namun dalam dua peristiwa itu, Ukraina terlihat kalah penting ketimbang Israel, yang mungkin terjadi karena demikian kuatnya lobi Israel di Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Padahal dengan cara itu Barat berjudi dengan kemungkinan hilangnya landasan moral untuk menggalang dukungan dunia di Ukraina.
"Narasi Eropa menerapkan standar ganda dan munafik menjadi semakin kencang seiring dengan terus bertambahnya jumlah warga sipil yang tewas di Gaza. Situasi ini akan mempersulit upaya mencapai konsensus Ukraina dalam forum-forum internasional," kata Luigi Scazzieri dari lembaga think tank, Centre for European Reform.
Orang-orang seperti Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg tak mau melihat realitas seperti itu. Dia menegaskan bahwa situasi Gaza dan situasi Ukraina jauh berbeda.
"Ukraina tak pernah mengancam Rusia, Ukraina tak pernah menyerang Rusia," kata Stoltenberg. "Sebaliknya, invasi Rusia di Ukraina adalah invasi tanpa sebab terhadap negara lain."
Stoltenberg benar dalam beberapa hal, tapi dia melupakan situasi-situasi sebelum serangan Hamas pada 7 Oktober yang memicu serangan balasan Israel di Jalur Gaza.
Dia lupa, diskriminasi, kebijakan aparthied Israel dan pengusahaan tanah-tanah Palestina yang diduduki Israel oleh pemukim-pemukim Yahudi, tak bisa tidak disebut terpisah dari faktor yang mempengaruhi militansi Palestina.
Bahkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pernah menyatakan serangan Hamas pada 7 Oktober itu "tidak terjadi dalam ruang hampa", yang artinya terjadi tidak tanpa alasan.
Ketika Israel murka untuk kemudian meminta Guterres dilucuti dari jabatannya, Portugal yang menjadi negara asal Guterres menolak seruan Israel itu.
Menteri Luar Negeri Portugal Joao Gomes Cravinho menegaskan tak akan menarik Guterres, pun tak akan mengingatkan diplomat besarnya itu.
Itu adalah salah satu contoh mengenai pecah sikap di Eropa. Mereka terbelah karena sikap mendua mereka sendiri dalam konflik Ukraina dan Gaza.
Perbedaan pendapat itu tak hanya terjadi antar negara anggota Uni Eropa, tapi juga antar badan blok kawasan tersebut.