Sementara itu di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa 1 dari 10 kelompok usia 15 - 24 tahun mengalami gangguan emosional, salah satunya depresi.
Menurut Petrin, remaja dengan gejala depresi perlu mendapatkan evaluasi lebih lanjut oleh tenaga kesehatan, salah satunya psikoterapi. Di sisi lain, orangtua akan diberikan psikoedukasi tentang depresi remaja.
"Biasanya dokter akan menilai self esteem-nya seperti apa, apa yang menjadi stressor dia, bagaimana faktor risiko, itu akan kami coba diskusikan sehingga akhirnya si anak bisa mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya," jelas dia.
Pasien depresi juga bisa diberikan obat-obat antidepresan supaya suasana hatinya lebih baik dan perasaan sedihnya terangkat.
"Bisa curhat, diskusi, psikoterapi dengan dokter. Kalau diterapi, biasanya kondisi depresinya akan membaik atau remisi dalam waktu satu hingga dua tahun dalam proses terapi," kata dia.
Petrin mengingatkan, depresi yang tidak ditatalaksana dengan tepat dapat menyebabkan gangguan emosional, sosial dan akademis, meningkatkan risiko penyalahgunaan zat adiktif, meningkatkan risiko perilaku agresi dan kekerasan serta bunuh diri. Selain itu, depresi pada anak dan remaja dapat menetap hingga dewasa.
Dia lalu merujuk data, sebanyak 60 persen anak dan remaja dengan depresi pernah memiliki ide bunuh diri dan 30 persen telah melakukan percobaan.