Ombudsman Sumsel - PT KAI bahas proses pembebasan tanah di Kemang Agung
Palembang (ANTARA) - Ombudsman Sumsel dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) melakukan pertemuan untuk membahas proses pembebasan tanah masyarakat di Kelurahan Kemang Agung, Kecamatan Kertapati, Kota Palembang.
Kepala Perwakilan Ombudsman Sumsel M. Adrian dalam keterangan tertulis yang diterima di Palembang, Rabu, mengatakan pada pertemuan tersebut ada beberapa hal yang perlu ditekankan, yaitu masalah itu telah menjadi perhatian publik dan memiliki dampak meluas sehingga penanganannya harus memperhatikan banyak aspek dan memerlukan kehati-hatian.
Kemudian, masih terjadi perbedaan penafsiran di masyarakat berkaitan dengan alas hak yang dimiliki masing-masing pihak, baik KAI maupun masyarakat. Sehingga harus ada rasa saling menghormati antar keduanya, apalagi ini menyangkut hajat hidup masyarakat sebagai warga negara.
Lalu, dalam peraturan hukum dan berbagai referensi, bahwa Grondkaart merupakan petunjuk awal yang memerlukan upaya administratif lanjutan berupa konversi menjadi status Hak Atas Tanah baik berupa Hak Milik, Hak Pakai atau Hak pengelolaan oleh PT. KAI sebagaimana dibunyikan pada UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Upaya tersebut tentu memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi di antaranya adalah penguasaan fisik lahan, sebagaimana dibunyikan dalam PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto PP Nomor 18 Tahun 2021 dan Permen Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Tanah dan Pendaftaran Hak.
Sebab, katanya, selama ini masalahnya adalah bahwa tanah tersebut banyak dikuasai bukan oleh PT. KAI melainkan warga secara turun-temurun. Sedangkan PT. KAI sendiri tidak maksimal dalam menjalankan kewajiban hukumnya berupa pemanfaatan dan penatausahaan tanah tersebut.
"Kalau betul memang tanah yang diklaim adalah milik PT. KAI, mestinya dijaga, dipasang tanda fisik penguasaan., Sehingga tidak mungkin ada pihak yang menduduki, membangun rumah apalagi sudah tinggal sampai puluhan tahun," katanya.
Kepala Perwakilan Ombudsman Sumsel M. Adrian dalam keterangan tertulis yang diterima di Palembang, Rabu, mengatakan pada pertemuan tersebut ada beberapa hal yang perlu ditekankan, yaitu masalah itu telah menjadi perhatian publik dan memiliki dampak meluas sehingga penanganannya harus memperhatikan banyak aspek dan memerlukan kehati-hatian.
Kemudian, masih terjadi perbedaan penafsiran di masyarakat berkaitan dengan alas hak yang dimiliki masing-masing pihak, baik KAI maupun masyarakat. Sehingga harus ada rasa saling menghormati antar keduanya, apalagi ini menyangkut hajat hidup masyarakat sebagai warga negara.
Lalu, dalam peraturan hukum dan berbagai referensi, bahwa Grondkaart merupakan petunjuk awal yang memerlukan upaya administratif lanjutan berupa konversi menjadi status Hak Atas Tanah baik berupa Hak Milik, Hak Pakai atau Hak pengelolaan oleh PT. KAI sebagaimana dibunyikan pada UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Upaya tersebut tentu memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi di antaranya adalah penguasaan fisik lahan, sebagaimana dibunyikan dalam PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto PP Nomor 18 Tahun 2021 dan Permen Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Tanah dan Pendaftaran Hak.
Sebab, katanya, selama ini masalahnya adalah bahwa tanah tersebut banyak dikuasai bukan oleh PT. KAI melainkan warga secara turun-temurun. Sedangkan PT. KAI sendiri tidak maksimal dalam menjalankan kewajiban hukumnya berupa pemanfaatan dan penatausahaan tanah tersebut.
"Kalau betul memang tanah yang diklaim adalah milik PT. KAI, mestinya dijaga, dipasang tanda fisik penguasaan., Sehingga tidak mungkin ada pihak yang menduduki, membangun rumah apalagi sudah tinggal sampai puluhan tahun," katanya.