Palembang (ANTARA) - DPR RI mendorong Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan serta kementerian/lembaga terkait untuk meningkatkan literasi masyarakat mengenai sistem pembayaran digital.
Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Tohir mengatakan masyarakat harus dididik karena semua sistem pembayaran akan beralih dari konvensional ke digital pada masa mendatang.
“Ini penting. Saat ini seluruh dunia sudah gunakan ini (digitalisasi). Jadi kita tidak boleh tertinggal,” kata Hafisz pada acara Side Event Presidensi G20 Indonesia Leaders Talk Digitalization on Payment System South Sumatera Digital Economy dan Finance di Palembang, Jumat.
Ia mengatakan DPR tidak menginginkan Indonesia tertinggal karena akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Bahkan, legislatif menilai penting untuk menerapkannya pada sektor UMKM karena saat ini digitalisasi telah menjamah seluruh sektor.
Baca juga: Bank Indonesia bentuk Hebitren di Sumsel perkuat ekonomi syariah
“Seperti di negara-negara Eropa saat ini sudah tidak pakai cash (tunai) lagi. Kita pun harus bisa begitu, semua produk harus digital. Bahkan saat ini ada paspor digital, jadi tidak perlu membawa kemana-mana buku paspor jika ke luar negeri,” kata dia.
Namun, ia menyadari untuk menerapkan digitalisasi secara menyeluruh ini masih terkendala pada ketersediaan infrastruktur.
Oleh karena itu, Komisi XI DPR akan bekerja sama dengan Komisi I yang membawahi Kementerian Komunikasi dan Informasi agar dilakukan pembangunan infrastruktur internet secara merata hingga ke kawasan pelosok. Ini agar tidak terjadi kesenjangan penggunaan sistem digital antara kota dan desa.
Kepala Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia Yunita Resmi Sari mengatakan keterbatasan infrastruktur menjadi tantangan Indonesia dalam mendigitalisasi UMKM meski saat ini peminat transaksi digital terus meningkat di masyarakat.
Hingga kini penetrasi internet di Indonesia hanya mencapai 76,8 persen atau berada pada rangking 15 di Asia karena masih banyak kawasan remote area yang tidak terjangkau.
“Ketersediaan infrastruktur internet ini sebagian besar didominasi di Jawa, dan kecepatan internet juga masih belum merata. Ini menjadi tantangan utama pengembangan digitalisasi UMKM,” kata Yunita.
Baca juga: BI: Sistem pembayaran digital membuat proses ekonomi menjadi lebih baik
Ia tak menyangkal bukan perkara mudah untuk mendigitalisasi UMKM ini karena hanya 21 persen yang sejauh ini memanfaatkan digital di Tanah Air.
Selain itu indeks literasi digital para pelaku UMKM hingga kini masih dalam skala ‘sedang’.
Menurutnya, kondisi ini disebabkan juga kurangnya talenta digital di kalangan pelaku UMKM.
Untuk itu, BI dalam pengembangan digitalisasi UMKM ini menerapkan tiga pilar kebijakan yakni korporatisasi, kapasitas dan akses pembiayaan bekerja sama dengan kementerian/lembaga.
Sejauh ini BI sudah mengembangkan e-farming (pemanfaatan teknologi digital pada pertanian), e-commerce (perluasan pemasaran UMKM melalui saluran pemasaran digital dan pemasaran global), e-financial support (aplikasi digital bagi UMKM untuk laporan keuangan) dan e-payment (QRIS UMKM-sarana pembayaran digital UMKM).