Legiun Jerman membuat Liga Inggris kian menarik
Jakarta (ANTARA) - Sebelum Ralf Rangnick menjadi manajer Manchester United sampai akhir musim ini Mei tahun depan, sudah ada lima pelatih asal Jerman yang malang melintang di Liga Inggris.
Pertama adalah Felix Magath. Mantan legenda timnas Jerman ini pernah mempersembahkan trofi Bundesliga kepada Bayern Muenchen dan Wolfsburg. Dia ditarik Fulham pada Februari 2014, namun hasil buruk membuatnya dipecat September tahun yang sama.
Yang kedua adalah Juergen Klopp. Pelatih ini familiar dengan telinga penggemar Liga Inggris, khususnya pendukung Liverpool.
Bergabung dengan The Reds berbekalkan CV mengkilap di Borussia Dortmund, Klopp mengantarkan Liverpool menjuarai Liga Champions pada 2019 dan trofi Liga Premier pertamanya setahun kemudian.
Ketiga Daniel Farke. Mantan asisten Klopp di Dortmund ini membesut Norwich yang berhasil diantarkan ke Liga Premier namun jeblok di liga utama ini pada musim 2019-2020.
Pelatih asal Jerman keempat yang melatih di Inggris adalah Jan Siewert. Dia melatih Huddersfield yang berusaha menghindari degradasi saat musim 2018-2019 sudah separuh jalan, tetapi karena gagal Siewert dipecat Agustus 2019.
Pelatih Jerman kelima yang berkarier di Inggris adalah Thomas Tuchel. Seperti Klopp, Tuchel adalah mantan pelatih Dortmund. Tuchel terkenal sulit diatur namun jenius dalam manajemen sepak bola.
Kejeniusannya ini menyulap Chelsea finis empat besar Liga Inggris dan bahkan juara Liga Champions padahal The Blues tengah sempoyongan ketika direkrut Januari 2021.
Kelima pelatih ini berbeda nasib. Dua dipecat, sedangkan tiga lagi bertahan yang dua di antaranya berkat etos dan filosofi yang hebat yang mengubah Liverpool dan Chelsea semakin angker untuk siapa pun, baik di Inggris maupun di Eropa.
Kini antara Klopp dan Tuchel, ada Rangnick yang ironisnya filosofi sepakbolanya merasuki pelatih Liverpool dan Chelsea itu. Ketiga pelatih adalah pengusung apa yang disebut Gegenpressing atau filosofi sepakbola "balik menekan".
Esensi filosofi ini adalah tim tak saja langsung menekan lawan saat membawa bola, tapi juga langsung menekan begitu lawan menguasai bola. Tujuannya merusak konsentrasi lawan sampai membuat kesalahan sehingga mudah menciptakan peluang gol.
Permainan menekan yang intens ini dilakukan dengan sangat terstruktur dan terencana sampai dengan detil membidik titik, sisi atau bahkan pemain terlemah lawan yang tak terlalu mahir mengontrol bola.
Dalam gegenpressing, pemain dituntut untuk tahu kapan harus menyerang dan kapan harus turun membantu pertahanan.
Filosofi ini tak akan jalan jika tim kelelahan atau dilanda krisis cedera. Liverpool jeblok musim lalu karena banyak pemain inti mereka yang cedera dan tidak fit.
Gegenpressing akan efektif sekali jika tim memasang formasi tiga penyerang yang terus bergerak cepat seperti dilakukan Liverpool saat ini. Ketiga striker ini juga harus bugar sepenuhnya dan kreatif memanfaatkan kesalahan lawan dengan umpan-umpan menentukan atau sentuhan akhir yang klinis.
Dalam gegenpressing, seluruh pemain harus berada pada posisi yang benar saat hendak melancarkan tekanan ke depan dengan memotong atau mencegat operan lawan.
Heavy metal
Klopp memang orang pertama yang memopulerkan filosofi ini di Borussia Dortmund dan kemudian Liverpool, tapi Rangnick-lah orang pertama yang menerapkannya dalam tim-tim yang pernah dikelolanya.
Cerita gegenpresssing berawal pada 1983 ketika Rangnick masih berusia 25 tahun dan menjadi pemain sekaligus pelatih klub divisi keenam Liga Jerman, Viktoria Backnang.
Tahun itu Backnang menjalani laga persahabatan dengan Dynamo Kiev asuhan Valeriy Lobanovskiy. Rangnick terperangah oleh cara Kiev bermain. Klub Uni Soviet itu tak henti menekan, baik saat membawa bola maupun ketika kehilangan bola.
Baru kali itu Rangnick mengetahui ada tim yang konstan menekan dari awal sampai akhir, dan tak pernah mengendurkan tekanan kendati sudah di atas angin.
Taktik menekan tak henti dan terorganisir yang diterapkan Lobanovskiy itu memaksa Rangnick menemukan filosofi sepakbola yang waktu itu asing bagi dunia sepakbola Jerman.
Dia kemudian menerapkan filosofi itu begitu melatih sejumlah klub termasuk Hoffenheim dan RB Leipzig. Dan ini membantu merevolusi sepakbola Jerman, selain mengilhami pelatih-pelatih Jerman masa kini, termasuk Klopp, Tuchel, dan pelatih Bayern Muenchen Julian Nagelsmann.
Sampai 1980-an gegenpressing dianggap terlalu radikal di Jerman yang masih terbuai sukses timnas dalam Piala Dunia dan Piala Eropa karena setia kepada taktik konservatif memasang sweeper dan man-marking atau mengawal pemain lawan.
Gegenpressing lalu dikawinkan dengan taktik penjagaan wilayah atau zonal marking yang diterapkan AC Milan pada era Arrigo Sacchi.
Setelah belajar sana sini, Rangnick menerapkan filosofi itu saat menangani tim-tim divisi bawah termasuk Ulm 1846 yang dia antarkan promosi ke Bundesliga pada 1999 dengan bermodalkan barisan pemain yang energik dan haus kemenangan, salah satunya Thomas Tuchel.
Kemudian setelah Jerman disingkirkan Kroasia dalam perempatfinal Piala Dunia 1998, diskusi mengenai filosofi baru sepakbola menjadi mengemuka. Mereka pikir sudah waktunya meninggalkan taktik lama untuk merangkul taktik baru nan revolusioner seperti dikenalkan Rangnick.
Dunia sepak bola Jerman pun akhirnya mengadopsi luas gegenpressing dan semakin dikuatkan oleh datangnya pelatih asal Spanyol, Pep Guardiola, ke Bayern Muenchen.
Rangnick memang tak pernah bisa mengantarkan klub-klub asuhannya menjadi juara Bundesliga, tetapi cara pandangnya beresonansi luas kepada ekosistem sepak bola Jerman.
Kini Rangnick berusaha mempraktikkan pendekatan itu di Manchester United ketika Jurgen Klopp dan Thomas Tuchel sudah lebih dulu menerapkannya di Liverpool dan Chelsea yang menjadi kampiun di Inggris dan Eropa saat ini.
Sepakbola tempo tinggi nan cepat yang menjadi ciri khas gegenpressing yang diasosiasikan dengan musik heavy metal dan rock n roll oleh Klopp dan Rangnick itu pun bisa meniadakan kecenderungan sepakbola tempo lamban dan hanya menunggu kesempatan melancarkan serangan balik yang tak terlalu menarik untuk ditonton.
Oleh karena itu, ditambah Pep Guardiola yang pendorong berat sepak bola menyerang dan anti mengendurkan tempo sekalipun timnya sudah di atas angin, kehadiran legiun Jerman dalam sistem kepelatihan Liga Inggris bisa membuat liga yang paling banyak ditonton di dunia ini menjadi kian panas dan kian menarik.
Pertama adalah Felix Magath. Mantan legenda timnas Jerman ini pernah mempersembahkan trofi Bundesliga kepada Bayern Muenchen dan Wolfsburg. Dia ditarik Fulham pada Februari 2014, namun hasil buruk membuatnya dipecat September tahun yang sama.
Yang kedua adalah Juergen Klopp. Pelatih ini familiar dengan telinga penggemar Liga Inggris, khususnya pendukung Liverpool.
Bergabung dengan The Reds berbekalkan CV mengkilap di Borussia Dortmund, Klopp mengantarkan Liverpool menjuarai Liga Champions pada 2019 dan trofi Liga Premier pertamanya setahun kemudian.
Ketiga Daniel Farke. Mantan asisten Klopp di Dortmund ini membesut Norwich yang berhasil diantarkan ke Liga Premier namun jeblok di liga utama ini pada musim 2019-2020.
Pelatih asal Jerman keempat yang melatih di Inggris adalah Jan Siewert. Dia melatih Huddersfield yang berusaha menghindari degradasi saat musim 2018-2019 sudah separuh jalan, tetapi karena gagal Siewert dipecat Agustus 2019.
Pelatih Jerman kelima yang berkarier di Inggris adalah Thomas Tuchel. Seperti Klopp, Tuchel adalah mantan pelatih Dortmund. Tuchel terkenal sulit diatur namun jenius dalam manajemen sepak bola.
Kejeniusannya ini menyulap Chelsea finis empat besar Liga Inggris dan bahkan juara Liga Champions padahal The Blues tengah sempoyongan ketika direkrut Januari 2021.
Kelima pelatih ini berbeda nasib. Dua dipecat, sedangkan tiga lagi bertahan yang dua di antaranya berkat etos dan filosofi yang hebat yang mengubah Liverpool dan Chelsea semakin angker untuk siapa pun, baik di Inggris maupun di Eropa.
Kini antara Klopp dan Tuchel, ada Rangnick yang ironisnya filosofi sepakbolanya merasuki pelatih Liverpool dan Chelsea itu. Ketiga pelatih adalah pengusung apa yang disebut Gegenpressing atau filosofi sepakbola "balik menekan".
Esensi filosofi ini adalah tim tak saja langsung menekan lawan saat membawa bola, tapi juga langsung menekan begitu lawan menguasai bola. Tujuannya merusak konsentrasi lawan sampai membuat kesalahan sehingga mudah menciptakan peluang gol.
Permainan menekan yang intens ini dilakukan dengan sangat terstruktur dan terencana sampai dengan detil membidik titik, sisi atau bahkan pemain terlemah lawan yang tak terlalu mahir mengontrol bola.
Dalam gegenpressing, pemain dituntut untuk tahu kapan harus menyerang dan kapan harus turun membantu pertahanan.
Filosofi ini tak akan jalan jika tim kelelahan atau dilanda krisis cedera. Liverpool jeblok musim lalu karena banyak pemain inti mereka yang cedera dan tidak fit.
Gegenpressing akan efektif sekali jika tim memasang formasi tiga penyerang yang terus bergerak cepat seperti dilakukan Liverpool saat ini. Ketiga striker ini juga harus bugar sepenuhnya dan kreatif memanfaatkan kesalahan lawan dengan umpan-umpan menentukan atau sentuhan akhir yang klinis.
Dalam gegenpressing, seluruh pemain harus berada pada posisi yang benar saat hendak melancarkan tekanan ke depan dengan memotong atau mencegat operan lawan.
Heavy metal
Klopp memang orang pertama yang memopulerkan filosofi ini di Borussia Dortmund dan kemudian Liverpool, tapi Rangnick-lah orang pertama yang menerapkannya dalam tim-tim yang pernah dikelolanya.
Cerita gegenpresssing berawal pada 1983 ketika Rangnick masih berusia 25 tahun dan menjadi pemain sekaligus pelatih klub divisi keenam Liga Jerman, Viktoria Backnang.
Tahun itu Backnang menjalani laga persahabatan dengan Dynamo Kiev asuhan Valeriy Lobanovskiy. Rangnick terperangah oleh cara Kiev bermain. Klub Uni Soviet itu tak henti menekan, baik saat membawa bola maupun ketika kehilangan bola.
Baru kali itu Rangnick mengetahui ada tim yang konstan menekan dari awal sampai akhir, dan tak pernah mengendurkan tekanan kendati sudah di atas angin.
Taktik menekan tak henti dan terorganisir yang diterapkan Lobanovskiy itu memaksa Rangnick menemukan filosofi sepakbola yang waktu itu asing bagi dunia sepakbola Jerman.
Dia kemudian menerapkan filosofi itu begitu melatih sejumlah klub termasuk Hoffenheim dan RB Leipzig. Dan ini membantu merevolusi sepakbola Jerman, selain mengilhami pelatih-pelatih Jerman masa kini, termasuk Klopp, Tuchel, dan pelatih Bayern Muenchen Julian Nagelsmann.
Sampai 1980-an gegenpressing dianggap terlalu radikal di Jerman yang masih terbuai sukses timnas dalam Piala Dunia dan Piala Eropa karena setia kepada taktik konservatif memasang sweeper dan man-marking atau mengawal pemain lawan.
Gegenpressing lalu dikawinkan dengan taktik penjagaan wilayah atau zonal marking yang diterapkan AC Milan pada era Arrigo Sacchi.
Setelah belajar sana sini, Rangnick menerapkan filosofi itu saat menangani tim-tim divisi bawah termasuk Ulm 1846 yang dia antarkan promosi ke Bundesliga pada 1999 dengan bermodalkan barisan pemain yang energik dan haus kemenangan, salah satunya Thomas Tuchel.
Kemudian setelah Jerman disingkirkan Kroasia dalam perempatfinal Piala Dunia 1998, diskusi mengenai filosofi baru sepakbola menjadi mengemuka. Mereka pikir sudah waktunya meninggalkan taktik lama untuk merangkul taktik baru nan revolusioner seperti dikenalkan Rangnick.
Dunia sepak bola Jerman pun akhirnya mengadopsi luas gegenpressing dan semakin dikuatkan oleh datangnya pelatih asal Spanyol, Pep Guardiola, ke Bayern Muenchen.
Rangnick memang tak pernah bisa mengantarkan klub-klub asuhannya menjadi juara Bundesliga, tetapi cara pandangnya beresonansi luas kepada ekosistem sepak bola Jerman.
Kini Rangnick berusaha mempraktikkan pendekatan itu di Manchester United ketika Jurgen Klopp dan Thomas Tuchel sudah lebih dulu menerapkannya di Liverpool dan Chelsea yang menjadi kampiun di Inggris dan Eropa saat ini.
Sepakbola tempo tinggi nan cepat yang menjadi ciri khas gegenpressing yang diasosiasikan dengan musik heavy metal dan rock n roll oleh Klopp dan Rangnick itu pun bisa meniadakan kecenderungan sepakbola tempo lamban dan hanya menunggu kesempatan melancarkan serangan balik yang tak terlalu menarik untuk ditonton.
Oleh karena itu, ditambah Pep Guardiola yang pendorong berat sepak bola menyerang dan anti mengendurkan tempo sekalipun timnya sudah di atas angin, kehadiran legiun Jerman dalam sistem kepelatihan Liga Inggris bisa membuat liga yang paling banyak ditonton di dunia ini menjadi kian panas dan kian menarik.