Jakarta (ANTARA) - Kementerian Keuangan menyatakan lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi pijakan yang kuat untuk mendorong pelaksanaan reformasi fiskal menuju Indonesia menjadi negara maju pada 2045.
Hal ini terjadi karena mampu mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum sehingga memperluas basis pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
“Upaya ini dilakukan dengan tetap menjaga keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat luas dan dinamika perekonomian di masa depan,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu di Jakarta, Kamis.
Di bidang Pajak Penghasilan, upaya tersebut dilakukan melalui perbaikan kebijakan seperti insentif bagi Wajib Pajak (WP) UMKM, perbaikan progresivitas tarif PPh Orang Pribadi (OP), serta perbaikan administrasi.
Perbaikan administrasi yang dimaksud adalah penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk WP OP.
UU HPP juga meningkatkan keberpihakan kepada WP UMKM melalui pemberian insentif berupa batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atas peredaran bruto WP OP UMKM sampai Rp500 juta setahun.
“Artinya WP OP UMKM yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta setahun tidak membayar PPh,” kata Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo.
WP Badan UMKM tetap mendapatkan fasilitas diskon tarif PPh 50 persen sesuai Pasal 31E UU PPh sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya tahan dan daya saing UMKM di Indonesia.
UU HPP turut memperbaiki progresivitas tarif PPh OP dengan memperlebar rentang lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk tarif PPh OP terendah 5 persen dan menambah lapisan tarif PPh OP tertinggi 35 persen.
Pemerintah menyepakati usulan DPR RI untuk memperlebar rentang lapisan PKP OP yang dikenai tarif PPh terendah sebesar 5 persen dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta.
Untuk batasan PTKP bagi WP OP saat ini ditetapkan Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun untuk OP lajang, tambahan sebesar Rp4,5 juta setahun untuk WP yang kawin, dan tambahan Rp4,5 juta setahun untuk setiap tanggungan maksimal tiga orang.
Dengan demikian, masyarakat dengan penghasilan sampai Rp4,5 juta per bulan tetap tidak terbebani dengan PPh sehingga mereka yang berpenghasilan menengah beban pajaknya menjadi lebih ringan.
Di sisi lain, UU HPP juga menetapkan tarif PPh OP sebesar 35 persen untuk lapisan PKP di atas Rp5 miliar yang selaras dengan prinsip kemampuan bayar atau ability to pay atau gotong royong.
Prinsip gotong royong ini bermaksud masyarakat yang berpenghasilan rendah dilindungi sedangkan yang berpenghasilan tinggi membayar pajak yang lebih tinggi.
Selain itu, UU HPP memberikan pengaturan ulang perlakuan perpajakan atas pemberian natura atau fringe benefit agar sistem PPh semakin adil.
Untuk pegawai atau kalangan tertentu, UU HPP mengatur pemberian natura menjadi objek pajak bagi penerimanya dan pemberian natura ini dapat menjadi biaya dalam penghitungan pajak bagi perusahaan yang memberikannya.
Untuk tetap memberikan keadilan bagi masyarakat, beberapa jenis natura tidak dikenakan pajak sebagaimana diatur di UU HPP.
Jenis natura itu yakni penyediaan makanan minuman bagi seluruh pegawai, pemberian natura di daerah tertentu, dan penyediaan natura karena keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan.
Kemudian natura yang bersumber dari dana APBN atau APBD dan natura dengan jenis dan batasan tertentu.
Selain reformasi PPh orang pribadi, UU HPP juga mengatur ulang tarif PPh badan yang semula direncanakan untuk turun menjadi 20 persen mulai 2022 menjadi tetap 22 persen.
Tarif PPh Badan sebesar 22 persen masih kompetitif serta tetap kondusif dalam menjaga iklim investasi di Indonesia khususnya jika dibandingkan dengan tarif PPh negara lain.