Peneliti: Kemudahan berusaha seharusnya dorong minat swasta investasi
Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) seharusnya bisa mendorong tumbuhnya kemitraan pemerintah-swasta untuk mendukung perkembangan sektor-sektor potensial di Tanah Air.
“Misalnya dalam mendukung ketahanan pangan, skema kemitraan pemerintah dan swasta pada infrastruktur logistik utama dapat menjadi cara untuk mengurangi biaya logistik dan mengurangi insiden food loss dan food waste,” kata Peneliti CIPS Arumdriya Murwani dalam keterangannya, Rabu.
Skema kemitraan pemerintah swasta, lanjutnya, memungkinkan pemerintah dan swasta dapat berbagi sumber daya dan pada akhirnya rakyat yang diuntungkan dengan ketersediaan pasokan pangan dan harga yang terjangkau.
Oleh karena itu, ia berpendapat pemerintah harus melakukan sinkronisasi peraturan pusat dengan daerah untuk mencegah adanya pertentangan peraturan, seperti penerbitan izin.
“Untuk itu regulasi yang diterapkan pemerintah dalam mendukung kemudahan berusaha di Indonesia harus sederhana, efisien dan berlaku di semua wilayah,” ujar Arumdriya.
Menurutnya, kemudahan berusaha di Indonesia masih belum sepenuhnya terwujud dan salah satu indikator yang harus dibenahi adalah indikator Starting a Business atau pendaftaran usaha.
Berdasarkan penelitian CIPS, waktu yang dibutuhkan untuk mendaftarkan usaha di Indonesia adalah 23 hari yang mencakup 11 prosedur dan terdapat 69 regulasi untuk pendaftaran menjadi bisnis legal.
“Hal ini masih diikuti dengan adanya izin bangunan, izin gangguan yang masih diberlakukan di beberapa daerah,” tuturnya.
Rumitnya birokrasi perizinan, kata dia, membuat orang lebih memilih bertahan di ranah informal, meski dengan menanggung sejumlah opportunity cost seperti perlindungan keamanan, akses kredit bank, dan lainnya. Sehingga pada akhirnya berdampak pada minat usaha informal untuk mendaftarkan usahanya menjadi formal dan minat investor membuka bisnis di Indonesia.
Selain itu upaya pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui penerapan Online Single Submission (OSS), dinilainya masih terhambat kesiapan infrastruktur teknologi informasi serta belum terintegrasinya peraturan pemerintah pusat dan daerah.
“Belum semua daerah, kabupaten atau kota menerapkan OSS karena daerah mereka belum didukung infrastruktur teknologi informasi dan juga koneksi internet. Perbaikan ini butuh komitmen dari pemerintah daerah untuk melengkapi semuanya,” jelasnya.
Adapun peringkat EoDB Indonesia pada Indeks EoDB 2020 sama dengan 2019 yakni peringkat 73. Pada Indeks EoDB 2020, Indonesia hanya mencapai posisi ke-140 pada indikator Starting a Business.
Peringkat tersebut membuat Indonesia tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura ataupun Hong Kong yang masing-masing mencapai posisi 4 dan 5. Indikator Starting a Business dalam EoDB dihitung berdasarkan jumlah prosedur, hari, dan biaya, yang dikeluarkan untuk mendaftarkan usaha.
“Misalnya dalam mendukung ketahanan pangan, skema kemitraan pemerintah dan swasta pada infrastruktur logistik utama dapat menjadi cara untuk mengurangi biaya logistik dan mengurangi insiden food loss dan food waste,” kata Peneliti CIPS Arumdriya Murwani dalam keterangannya, Rabu.
Skema kemitraan pemerintah swasta, lanjutnya, memungkinkan pemerintah dan swasta dapat berbagi sumber daya dan pada akhirnya rakyat yang diuntungkan dengan ketersediaan pasokan pangan dan harga yang terjangkau.
Oleh karena itu, ia berpendapat pemerintah harus melakukan sinkronisasi peraturan pusat dengan daerah untuk mencegah adanya pertentangan peraturan, seperti penerbitan izin.
“Untuk itu regulasi yang diterapkan pemerintah dalam mendukung kemudahan berusaha di Indonesia harus sederhana, efisien dan berlaku di semua wilayah,” ujar Arumdriya.
Menurutnya, kemudahan berusaha di Indonesia masih belum sepenuhnya terwujud dan salah satu indikator yang harus dibenahi adalah indikator Starting a Business atau pendaftaran usaha.
Berdasarkan penelitian CIPS, waktu yang dibutuhkan untuk mendaftarkan usaha di Indonesia adalah 23 hari yang mencakup 11 prosedur dan terdapat 69 regulasi untuk pendaftaran menjadi bisnis legal.
“Hal ini masih diikuti dengan adanya izin bangunan, izin gangguan yang masih diberlakukan di beberapa daerah,” tuturnya.
Rumitnya birokrasi perizinan, kata dia, membuat orang lebih memilih bertahan di ranah informal, meski dengan menanggung sejumlah opportunity cost seperti perlindungan keamanan, akses kredit bank, dan lainnya. Sehingga pada akhirnya berdampak pada minat usaha informal untuk mendaftarkan usahanya menjadi formal dan minat investor membuka bisnis di Indonesia.
Selain itu upaya pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui penerapan Online Single Submission (OSS), dinilainya masih terhambat kesiapan infrastruktur teknologi informasi serta belum terintegrasinya peraturan pemerintah pusat dan daerah.
“Belum semua daerah, kabupaten atau kota menerapkan OSS karena daerah mereka belum didukung infrastruktur teknologi informasi dan juga koneksi internet. Perbaikan ini butuh komitmen dari pemerintah daerah untuk melengkapi semuanya,” jelasnya.
Adapun peringkat EoDB Indonesia pada Indeks EoDB 2020 sama dengan 2019 yakni peringkat 73. Pada Indeks EoDB 2020, Indonesia hanya mencapai posisi ke-140 pada indikator Starting a Business.
Peringkat tersebut membuat Indonesia tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura ataupun Hong Kong yang masing-masing mencapai posisi 4 dan 5. Indikator Starting a Business dalam EoDB dihitung berdasarkan jumlah prosedur, hari, dan biaya, yang dikeluarkan untuk mendaftarkan usaha.