Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan nilai ekonomi nasional yang hilang akibat pandemi COVID-19 tahun lalu mencapai Rp1.356 triliun atau 8,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sri Mulyani menyatakan jumlah kerugian tersebut merupakan selisih realisasi PDB pada tahun lalu yaitu minus 2,07 persen dengan target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2020 sebesar 5,3 persen.
“Kita estimasikan dari hilangnya kesempatan kita untuk meraih pertumbuhan ekonomi 2020 sebelum COVID-19 ditargetkan 5,3 persen dan berakhir dengan minus 2 persen maka nilai kerugian yang hilang diestimasi Rp1.356 triliun atau 8,8 persen dari PDB 2020,” katanya dalam Rakorbangpus 2021 di Jakarta, Kamis.
Sri Mulyani menuturkan kerugian Rp1.356 triliun terjadi karena terdapat pembiayaan untuk penanganan pandemi COVID-19 yang menyebabkan penurunan pada PDB dan tekanan terhadap APBN baik dari sisi pendapatan, belanja, serta pembiayaan.
Ia mengatakan respon fiskal dalam menghadapi pandemi COVID-19 pada tahun lalu terlihat dari belanja negara yang meningkat hingga Rp284,2 triliun atau 12,3 persen (yoy).
Kemudian juga realisasi program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2020 sebesar Rp579,8 triliun yang menjadi salah satu faktor belanja negara tahun lalu mencapai Rp2.589,9 triliun.
Selanjutnya, utang neto turut meningkat Rp1.226,8 triliun atau 7,8 persen dari PDB 2020 dan beban bunga utang juga meningkat Rp38,6 triliun dari total Rp314,1 triliun atau 2 persen dari PDB.
Di sisi lain, pendapatan negara tahun lalu terkontraksi 16 persen dengan realisasi turun mencapai Rp312,8 triliun sedangkan untuk penerimaan perpajakan sendiri terkontraksi hingga 16,9 persen (yoy).
“APBN sebagai instrumen utama yang melakukan countercyclical agar tidak merosot ke bawah,” ujarnya.
Ia melanjutkan, berbagai hal itu menyebabkan defisit Indonesia melebar hingga 6,1 persen namun masih relatif moderat dibanding negara-negara lain dan mampu memberikan daya dorong cukup besar terhadap ekonomi.
Meski demikian, Sri Mulyani memastikan pemberian stimulus dan defisit fiskal ke depan akan tetap dikendalikan untuk menjaga tingkat utang yang aman serta fiskal yang sehat.
“Indonesia perlu terus menjaga dan mengelola APBN untuk kembali sehat dan kita tahu APBN masih kembali diperlukan untuk memulihkan ekonomi,” tegasnya.
Berita Terkait
Psikolog kemukakan faktor-faktor pemicu fenomena Efek Lipstik
Kamis, 31 Oktober 2024 11:38 Wib
Siasat mengatasi "doom spending" menurutpsikolog
Kamis, 10 Oktober 2024 13:39 Wib
Babel catatkan belanja negara capai Rp2,06 triliun
Minggu, 6 Oktober 2024 15:36 Wib
Kejari OKU serahkan berkas perkara korupsi BPBD ke JPU
Rabu, 28 Agustus 2024 16:21 Wib
Kejari OKU geledah Kantor BPBD lengkapi alat bukti korupsi
Kamis, 25 Juli 2024 13:38 Wib
Kejari OKU-Sumsel tetapkan mantan Kepala BPBD OKU jadi tersangka korupsi
Jumat, 5 Juli 2024 9:18 Wib
Pj Gubernur Sumsel ajak masyarakat belanja produk dalam negeri
Minggu, 2 Juni 2024 18:11 Wib
Pemerintah: Dana Tapera tak digunakan untuk belanja APBN
Jumat, 31 Mei 2024 16:46 Wib