Jakarta (ANTARA) - Ekonom senior Faisal Basri mengatakan saat negara-negara di dunia berupaya mengembangkan energi terbarukan dari sumber daya yang ramah lingkungan, Indonesia justru menyulap batu bara menjadi gas.
"Batu bara disulap jadi gas itu tidak termasuk dalam kategori energi terbarukan atau renewable. Jangan bikin istilah yang aneh-aneh!" katanya dalam diskusi daring bertajuk Peluang Ekonomi Pasca Leaders Summit on Climate yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Merujuk dokumen Kebijakan Energi Nasional, lanjut dia, pemanfaatan batu bara dan minyak bumi memang turun tetapi volumenya justru meningkat hampir dua kali lipat.
Pada 2025, pasokan energi primer batu bara diproyeksikan tumbuh sebesar 119,8 MTOE dengan volume kesetaraan 205,3 juta ton.
Namun saat 2050, angka bauran energi primer batu bara turun menjadi 25,3 persen dengan peningkatan jumlah 255,9 MTOE dan volume kesetaraan sebesar 438,8 juta ton.
Faisal mengingatkan saat banyak negara sudah mulai beralih dari pemanfaatan energi fosil ke energi terbarukan, seperti Nordik, Indonesia masih bertahan manfaatkan energi kotor untuk menghadirkan listrik bagi masyarakat dan industri yang justru dapat merugikan perekonomian nasional di masa depan karena akan mendapatkan pelarangan ekspor dari negara-negara rendah karbon.
"Orang lain sudah hijrah total, sehingga nanti produk Indonesia akan di-ban. Nanti kita marah lagi, kita dijajah dunia, kita didikte tidak berdaulat...yang ada ini kedaulatan global," ujarnya.
Dalam forum Leaders Summit on Climate yang digagas Presiden Amerika Serikat Joe Biden, kata Faisal, Indonesia adalah salah satu negara yang tidak berani menyampaikan komitmen dalam pertemuan tersebut karena kepentingan eksisting dan oligarki yang ada sekarang terlalu dilindungi oleh Presiden Joko Widodo.
"Presiden melindungi pengusaha batu bara dan melindungi pengusaha sawit yang akan terus memasok biodiesel dan biofuel sampai 100 persen," ungkap Faisal.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia sedang berupaya memperpanjang masa pemanfaatan batu bara sebagai energi primer melalui skenario hilirisasi batu menjadi dimetil eter, metanol, dan berbagai produk kimia lainnya.
Padahal saat ini banyak pemerintahan dunia sudah terikat komitmen memperbaiki kondisi iklim yang tertuang dalam perjanjian Paris Agreement, termasuk Indonesia.
Perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara yang melakukan hilirisasi di dalam negeri mendapatkan karpet merah berupa insentif istimewa dari Pemerintah Indonesia.
Mereka mendapatkan royalti harga batu bara nol persen, perpanjangan IUP mengikuti nilai keekonomian, mendapatkan tax holiday, pembebasan PPN jasa pengelolaan, pembebasan PPN EPC kandungan lokal, dan berbagai insentif lainnya mengikuti pola-pola yang dikembangkan dalam Kawasan Ekonomi Khusus.
"Musuh modernisasi adalah oligarki yang punya konsesi batu bara dan lahan luas. Mereka sekarang takut karena kampanye dunia (red: perubahan iklim dan transisi energi), karena itulah diciptakan pasar (hilirisasi) di dalam negeri," pungkas Faisal.